Tahun 2013. Tahun ketigabelas setelah era millenium yang dirayakan dengan begitu huge-nya. Waktu itu saya masih umur 9 tahun. Masih bocah ingusan yang tidak tahu apa-apa dibandingkan bocah 9 th masa kini yang sudah ahli ber-BBM ataupun ber-twitter'an ria di dunia maya. Saya masih nggak ngeh kalau semenjak itu pergaulan semakin bebas, karena secara tidak langsung, dunia akan terus dan terus berkembang. Dulu, liburan ke Bali itu cuma bisa dilakukan orang-orang kaya saja. Aduh, jangankan liburan ke Bali, makan BengBeng atau cokelat silverqueen itu sudah WOW banget! Tapi sekarang? Anyone can do it!
Saya masih ingat cerita dari ibu ataupun bulik saya. Betapa romantisnya pacaran ala jadul (jaman dulu). Bukan menyebut pacaran sih, tapi lebih menyebut 'pertemanan'. Jalan-jalan (dengan ditemani adik perempuan atau keponakan untuk si cewek), nonton film di bioskop (waktu itu masih murah sekali dan belum ada Cineplex21 di daerah saya), makan pangsit atau bakso, pulangnya jalan kaki atau naik becak. Atau ketika ada acara-acara tertentu, saya pasti diajak menghadiri pekan raya atau pasar malam, membeli sebungkus kacang godhok (rebus-bahasa Jawa), atau gulali dan naik dremulen (bianglala-bahasa Jawa). Saya tidak bisa merinci ceritanya, hanya sepotong-sepotong karena saya berusia kurang lebih 3 atau 4 tahun saat itu. Saya memang dekat dengan bulik (bibi-adik perempuan ibu), bahkan saya memanggil dan memperlakukannya seperti ibu saya sendiri. Saat lahir anaknya (dan ibu juga melahirkan adik-adik saya), saya merasa 'sedikit' kesepian. Bagaimana tidak? Selama beberapa waktu saya dihujani perhatian dengan begitu banyaknya, lalu perhatian tersebut kemudian terbagi. Saya menjadi anak yang sering bermain sendiri. Mungkin saya adalah teman yang kurang menyenangkan mengingat di masa kecil saya tidak memiliki banyak teman, tidak memiliki kenangan khusus bermain bersama mereka atau yang lain. Saya memang anak yang tidak menyenangkan!
Lalu kehidupan saya sendiri mulai berjalan.
Dalam hidup ini saya bersyukur bisa bersekolah di SMP 20 Malang, karena saya merasa benar-benar dihargai dan memiliki banyak teman di sana. Teman-teman yang sangat perhatian. Kami bermain sepulang sekolah (selalu, terutama pada tahun ketiga), makan bakso bersama-sama, berjalan kaki menuju ke rumah dan lain sebagainya. Sungguh indah.
Tapi, hal itu tidak saya rasakan di bangku SMK. Serupa dengan masa SD, saya tidak memiliki teman. Hanya salah seorang teman yang pendiam dikelaslah yang mau berinteraksi dengan saya. Ini adalah suatu bukti bahwa saya memang kurang menyenangkan. Atau alasan lain, karena saya tidak memiliki sepeda motor seperti halnya teman-teman saya pada waktu itu. Saya pernah pulang ke rumah dengan menangis karena teman-teman pergi bermain ke salah satu air terjun didekat sekolah dengan berboncengan, tapi tidak ada yang mau membonceng saya. Atau ketika kami ada praktikum ke luar sekolah, saya adalah satu-satunya murid yang harus menumpang pada pak guru. Bukannya saya berburuk sangka, tapi memang itulah yang mereka katakan dibelakang saya. Â Apa yang bisa saya tuntut dari seorang ibu yang bekerja sendiri menghidupi 8 orang anak (5 anak almh. Bude dan 3 orang anaknya sendiri termasuk saya) dengan pekerjaannya sebagai penjual sayur dan kelapa dipasar? Tidak ada, selain tekad kuat mendapatkan selembar ijazah. Alhamdulillah, tidak ada satu tahunpun yang dilewati Ibu tanpa menggenggam piala dari saya selama bersekolah di SMK. Maka saya meminta maaf yang sebesar-besarnya, karena saya tidak bisa menjadi teman yang kalian inginkan.
Lalu tawaran kuliah dari salah satu universitas negeri yang terkenal menghampiri saya, seiring dengan cibiran yang sungguh mengiris hati. Maaf ibu Kepala Sekolah, saya sungguh masih mengingat semua perkataan Ibu dengan jelas, tentang siapa saya dan keluarga saya, dan bagaimana saya harus menunggu Ibu selesai makan beberapa saat hanya untuk mendapatkan surat tanda lulus sebelum saya melunasi pembayaran sekolah saya waktu itu. Dan saya memilih mundur, mengingat Ibu masih memiliki tanggungan dua orang adik yang akan masuk bangku SMA dan masih duduk di bangku SMP. Saya memutuskan bekerja, untuk melunasi biaya sekolah saya. Untungnya beberapa orang staf sekolah berbaik hati memberi pinjaman tanpa jaminan pada saya dan Ibu, agar bisa menebus ijazah yang saya pergunakan untuk mencari pekerjaan dengan lebih baik.
Saya diterima bekerja disebuah koperasi agribisnis dengan produk utama mereka susu segar. Koperasi yang memiliki reputasi bagus hingga internasional. Pekerjaan awal saya adalah pegawai administrasi sebelum kemudian menjadi supervisor lapangan bidang pengembangan sumberdaya manusia dan pemanfaatan limbah. Dan saya kemudian 'memiliki' lagi teman-teman yang hilang serta mendapat perlakuan yang lebih baik dari ibu Kepala Sekolah. Sedikit demi sedikit pundi-pundi recehan saya tabung menjadi sebuah sepeda motor. Dan ibu sangat bangga karenanya. Lalu saya bertemu dengan pria yang kini menjadi suami saya. Seorang pria yang kaya dan memiliki citra keluarga yang baik. Saya berhenti dari pekerjaan saya, karena memang peraturan perusahaan seperti itu. Salah satu dari kami harus keluar, karena pria tersebut juga bekerja ditempat yang sama dengan saya. Sebagai penggantinya, saya diberi kesempatan untuk melanjutkan kuliah dengan bidang saya mau, dengan syarat saya harus tekun.
Kini, saat saya menoleh kembali kemasa lalu, saya tersenyum. Betapa banyak jejak yang saya tinggalkan. Betapa saya menyadari, bahwa dulu saya ditempa untuk menjadi seseorang yang mau bersyukur. Betapa saya mendapat kemudahan setelahnya. Bagaimana saya sekarang dan bagaimana 'mereka' sekarang. Saya sempat marah dan kecewa, menganggap Allah tidak adil sebagaimana manusia-manusia yang sedang 'galau' lainnya. Lalu, ketika saya mulai menulis hal tersebut, saya menyadari bahwa saya ini sangat kecil. Sangat. Sangat.
Sekarang, saya adalah seorang aktifis di PNPM-MPd Kecamatan Jabung, saya adalah seorang Kepala Sekolah dari PAUD yang saya dirikan bulan Mei lalu, saya adalah seorang mahasiswi semester V program studi S-1 Sastra Inggris, saya adalah seorang istri dari laki-laki hebat bernama Handri dan ibu dari seorang anak yang sangat luar biasa bernama Janitra. Dan saya  adalah seorang anak dari ibu yan harus saya bahagiakan. Jadi, apa yang saya keluhkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H