Salikun bangga karena desanya dikunjungi bule yang kulitnya berbeda. Bangga karena bahasa mereka sangat aneh sehingga ia tidak mengerti sama sekali. Bangga karena desanya yang tidak pernah tersentuh aspal mulus ternyata bisa juga dilalui mobil bagus.
Tetapi kebahagiaan dan kebanggaan itu mendadak sirna ketika beberapa hari kemudian Kuwu[1] Rastam mengumpulkan seluruh warganya di kantor kuwu. Salikun yang penasaran ikut juga berkumpul. Ia melihat ada beberapa lelaki berdasi yang bukan warga desanya turut hadir dan duduk di kursi depan bersama Kuwu Rastam.
Salikun tidak tahu persis apa yang dibicarakan saat itu, yang pasti sangat seru. Masing-masing berkata dengan lantang, bahkan Salimin terlihat sedemikian marah sambil menuding-nuding lelaki berdasi yang duduk di depan. Setelah pertemuan selesai, Salikun melihat banyak warga yang menggerutu kesal. Babah Liong Gempal yang biasanya selalu tertawa dan tersenyum pada semua orang juga pulang dengan muka menahan geram. Salikun melihat orang-orang berkerumun dengan muka tegang di setiap sudut desa.
Beberapa hari setelah pertemuan di kantor kuwu, rumah Salikun selalu dipenuhi orang siang dan malam. Beberapa mahasiswa dan wartawan juga mulai berdatangan. Salikun ingat, beberapa mahasiswa memasang papan bertuliskan ‘Tim Advokasi Pembangunan Tambang Minyak’ di depan rumahnya. Salikun tidak mengerti apa maksudnya. Yang jelas, makin hari Desa Kandang Kepiting makin ramai dan dipenuhi spanduk bernada protes.
“Pak, apa tidak sebaiknya kita menerima saja ganti rugi dari pemerintah?” kata Suratmi yang sedang menemani Salimin makan malam. Sementara Salikun sedang menggambar sesuatu di atas kertas sambil menelungkup di atas bale-bale tempat tidurnya.
“Terlalu kecil, Mak.” kata Salimin sambil terus mengunyah makanan. “Apalagi belum ada kejelasan mau tinggal di mana kita kalau desa ini benar-benar digusur untuk pembangunan tambang minyak.”
“Emak takut, Pak. Ngeri kalau sampai Bapak kenapa-kenapa. Mereka itu orang hebat, kita sebagai orang kecil pasti tidak akan bisa melawan mereka.”
“Aku juga tahu. Tapi aku kan tidak sendirian, Mak. Seluruh warga menolak ganti rugi yang diajukan pemerintah. Apalagi di belakang kita, ada mahasiswa yang siap membantu.”
Suratmi hanya bisa menghela napas panjang.
“Kamu berdoa saja, semoga usulan warga bisa diterima pemerintah.” kata Salimin yang sudah mengakhiri makannya. “Aku sendiri rela kalau desa kita jadi tambang minyak. Aku merasa bangga kalau suatu saat nanti hasil bumi desa kita akan bermanfaat bagi orang banyak.”
Suratmi terdiam. Dalam hati ia membenarkan perkataan suaminya. Namun tetap tidak bisa menghilangkan kegundahan yang menggelayut di pikirannya. Hati kecilnya berkata bahwa ada firasat buruk yang akan diterimanya. Entah apa.