[caption id="attachment_323820" align="aligncenter" width="520" caption="Cambuk, salah satu bentuk hukuman jinayat (thejakartaglobe.com)"][/caption]
REFLEKSI 9 tahun setelah MoU Helsinki yang mengubah situasi provinsi Aceh dari konflik ke damai, pembangunan merupakan prioritas utama yang menjadi perhatian setiap pemangku jabatan penting di wilayah ini. Termasuk para pejabat dijajaran eksekutif dan legislatif. Bidang ekonomi menjadi perhatian serius daripada yang lainnya. Dan, untuk mewujudkan ekonomi yang mapan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Aceh mengundang para pengusaha-pengusaha dari dalam dan luar negeri untuk berinvestasi di daerah yang pernah menyumbangkan pesawat Dakota (RI-001 dan RI-002) bagi eksistensi Republik Indonesia yang sedang menghadapi agresi militer Belanda di masa silam.
Namun, alih-alih mempercepat gerak pembangunan, pihak parlemen provinsi Aceh justru mempersulit para investor yang hendak menanamkan modalnya di Aceh. Ini terkait dengan Rancangan Qanun Jinayat Aceh yang sedang dalam pembahasan. Dalam Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat terdapat Pasal yang menyatakan bahwa qanun (perda) ini juga berlaku bagi non-muslim. Secara tidak langsung, peraturan ini dapat menghambat pengusaha luar yang hendak berinvestasi di Aceh. Karena adanya ketidakpastian, hukum mana yang seharusnya dipatuhi. Sebab, menurut Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, qanun merupakan sub-sistem dari sistem nasional. Artinya, qanun merupakan peraturan daerah yang tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa ruang lingkup berlakunya qanun untuk lembaga penegak hukum dan setiap orang yang berada di Aceh tanpa disebutkan beragama Islam, dan tidak ada pengecualian sama sekali bagi non-muslim.
Bila nantinya Rancangan Qanun Jinayat disahkan oleh parlemen provinsi Aceh, maka bisa jadi akan tersandung di Kementerian Dalam Negeri. Karena pihak Kemendagri sudah pasti akan mengevaluasi produk-produk hukum di daerah agar tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Apalagi substansi di dalamnya mengandung unsur diskriminatif. Jika pihak Kemendagri membatalkan qanun (perda) ini, maka sudah berderet produk-produk qanun Aceh yang mendapat nilai “merah” dari Kemendagri. Kerugian lainnya tentu saja uang rakyat terkuras sia-sia.
Mengenai iklim investasi di Aceh, hal-hal menyangkut kepastian hukum tentu mendapatkan perhatian dari para pelaku usaha yang hendak menanamkan modalnya di wilayah Aceh. bila qanun (perda) yang dihasilkan oleh parlemen daerah berkualitas rendah atau “asal jadi”, tanpa mempertimbangkan kehadiran para investor yang belum tentu beragama Islam, maka Qanun Jinayat akan menjadi blunder sekaligus penghambat besar bagi pembangunan Aceh. Dampaknya sudah pasti lapangan kerja tidak bertambah dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sulit untuk dicapai.
Lagi-lagi, masyarakatlah yang akan terkena dampak dari kebijakan yang menghambat investasi ekonomi di Aceh. Entah sampai kapan?
Sumber gambar: thejakartaglobe.com
Ruslan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H