[caption id="attachment_325687" align="aligncenter" width="612" caption="Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf beserta sejumlah janji-janjinya (koleksi pribadi)"][/caption]
DUA orang sahabat dekat Rasulullah Muhammad Saw pernah berpesan kepada umat Islam tentang pentingnya pendidikan. Mereka adalah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Dari Umar, ia berpesan, “Didiklah anak-anakmu dengan pengajaran yang baik, sebab ia diciptakan untuk zaman yang berbeda dengan zamanmu.” Begitupun dengan Ali yang berkata: “Didiklah anak-anakmu. Sesungguhnya mereka dilahirkan untuk hidup dalam suatu zaman yang benar-benar berbeda dengan zamanmu.” (M. Wahyudin, 2003: 1)
Tanggung jawab untuk mendidik tidak hanya berada di pihak orang-orang dekat seperti orang tua semata, melainkan juga mesti mendapat dukungan yang memadai dari pihak penyelenggara kebijakan negara. Baik itu di tingkat pusat maupun daerah. Berkaitan dengan hal ini, Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang mendapatkan dana otonomi khusus yang melimpah dari Pemerintah Pusat untuk meningkatkan mutu pendidikan. Bahkan, dana yang dianggarkan mencapai angka triliunan rupiah. Tetapi, dampak yang dihasilkan sungguh bertolak-belakang dengan yang diharapkan. Untuk tahun ajaran 2013/2014, jumlah ketidaklulusan ujian nasional siswa SMA/MA di Provinsi Aceh merupakan yang tertinggi se- Indonesia. Dengan jumlah ketidaklulusan mencapai 785 orang. (Lihat tabel)
[caption id="attachment_325688" align="aligncenter" width="624" caption="Jumlah ketidaklulusan siswa SMA/MA Tahun 2013/2014 (medsos twitter Kemendikbud)"]
Indeks pendidikan yang terperosok ini menunjukkan Pemerintah Provinsi Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf tidak serius mengevaluasi mutu pengajar dan kualitas pendidikan di Aceh. Padahal, “segudang” janji telah diumbar oleh duet yang disingkat “Zikir” ini untuk memperbaikinya. Dan, itu belum termasuk sejumlah janji lainnya. (Lihat cuplikan janji “Zikir”)
Anjloknya kualitas dan mutu pendidikan di Aceh sedikit-banyak disebabkan oleh tidak sigapnya sejumlah pihak terkait dengan perkembangan teknologi saat ini, yang berdampak pada bidang pendidikan tersebut.
BEASISWA YATIM ACEH DITELAN MASA
[caption id="attachment_325689" align="aligncenter" width="576" caption="Demo mendesak realisasi janji "]
Seiring berjalannya roda Pemprov Aceh di era “Zikir”, nasib lebih dari 112 ribu orang anak yatim yang berhak mendapatkan beasiswa pendidikan di Aceh kian tidak jelas. Pada tahun 2014, hingga bulan Agustus, belum ada biaya pendidikan yang diterima oleh anak yatim sebagaimana yang dilakukan oleh Pemprov Aceh sebelum periode “Zikir”. Pada periode sebelumnya, prioritas pendidikan bagi anak yatim tidak sekadar tertulis di atas kertas atau menguap begitu saja melalui ucapan-ucapan bualan seperti saat Pemprov periode 2012-2017.
Jumlah biaya yang dialokasikan untuk membiayai pendidikan bagi yatim di Aceh untuk tahun 2014 sebenarnya telah tersedia, yakni Rp 130 miliar lebih. Namun sangat disayangkan, Pemerintah Aceh melalui dinas terkait belum menyalurkan hak anak yatim tersebut. Padahal ini menyangkut keberlangsungan masa pendidikan yang mereka jalani. Sebab tanpa dukungan biaya dari Pemprov Aceh, dapat dipastikan banyak anak yatim di Aceh akan putus sekolah.
Lagi-lagi, anak yatim di Aceh menjadi tumbal keserakahan pihak tertentu seperti di masa konflik Aceh yang juga disulut oleh gerombolan yang sama. Dilema pendidikan Aceh belum berakhir, bila-mana banyak “perampok” masih mencengkeram Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), yang seharusnya bekerja profesional tanpa dilandasi oleh kepentingan kelompok tertentu.
Ruslan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H