Menjelang pelaksanaan pemilihan umum legislatif pada 9April mendatang, kondisi politik di Aceh cenderung tak ‘sehat’. Ini disebabkan oleh beberapa rentetan peristiwa teror yang diduga didalangi kekuatan politik tertentu. Mulai dari penganiayaan, pembunuhan, intimidasi hingga perusakan telah terjadi beberapa kali jelang pemilu legislatif 2014. Strategi yang dipergunakan ini bahkan melebihi cara-cara represif yang pernah dilakukan di Indonesia ketika rezim Orde Baru, yang dipimpin Soeharto.
Peristiwa kekerasan beraroma politik semakin biadab, tatkala orang-orang yang sedang memimpin justru memberikan pernyataan yang tidak patut diteladani oleh masyarakat secara luas. Bagaimana mungkin, seorang pejabat tinggi yang memimpin masyarakat malah melontarkan kata-kata “mampus” terhadap rakyatnya sendiri (lihat cuplikannya). Semua orang tahu, jika perbedaan pilihan politik yang berbeda pasti hadir di tengah-tengah masyarakat. Tapi, perbedaan bukan berarti seorang pejabat tinggi yang telah terpilih berhak untuk menghina, apalagi mengucapkan kalimat yang tidak patut untuk ditiru. Seharusnya, ia mampu menunjukkan kepemimpinannya yang arif dan bijaksana terhadap segala lapisan masyarakat tanpa membedakan latar belakang rakyatnya sendiri. Sebab, setelah terpilih sebagai pemimpin, maka sesungguhnya ia sedang memimpin seluruh rakyat. Namun, bagaimana jadinya jika ada pemimpin yang secara lantang mengucapkan kalimat “mampus” terhadap rakyatnya sendiri?
***
Disamping bentuk teror-teror yang telah disebutkan di atas, ada strategi lainnya yang digunakan oleh ‘preman Aceh’, yaitu labelisasi. Salah satunya adalah yang disampaikan dalam persiapan pemenangan di salah satu Kecamatan di Kabupaten Aceh Utara pada Sabtu (22/2/2014), “Bila Partai A*** tidak menang liat saja apa yang terjadi di Aceh, karena Partai A*** sedang kita pupuk bila ada yang berkhianat itu bukan bangsa Aceh,” sebut salah seorang pengurus partai tertentu. Bahkan dengan nada ‘mengancam’ yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan Kecamatan, ia melanjutkan, “Kepada Camat tolong kerja untuk Partai A***, jangan duduk aja, bila tidak mau bekerja sama-sama memperjuangkan kemenangan Partai ini, dengan terpaksa akan saya sampaikan ke Cekmad (Muhammad Thaib selaku Bupati Aceh Utara) untuk di PAW,” tukasnya.
Bukan hanya itu, dengan kalimat yang layaknya sebuah instruksi (perintah), ia ikut menyeret unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang seharusnya bersih dari kepentingan politik untuk memenangkan partainya. “TNI/POLRI juga tolong bantu Partai A***, karena bila Partai A*** menang gaji TNI/POLRI akan bertambah menjadi Rp. 8.000.000.”
***
Teror politik di Aceh tampaknya belum akan berakhir. Karena, beberapa pelakunya masih ada yang bebas berkeliaran. Kita hanya bisa berharap agar aparat Kepolisian bertindak cepat untuk mengusutnya, sehingga masyarakat aman dari teror ‘Preman Aceh’. Semoga!
Sumber foto: tempo.co
Ruslan Jusuf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H