Mohon tunggu...
Ruslan Jusuf
Ruslan Jusuf Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, travel, dan gemar kuliner tradisional

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

“Penjual” Perdamaian Aceh

17 September 2014   00:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:29 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_324289" align="aligncenter" width="450" caption="Spanduk Memperingati Sembilan Tahun Perdamaian Aceh (antarafoto.com)"][/caption]

Pada 15 Agustus 2014 lalu atau bertepatan dengan hari Jum’at, perdamaian Aceh memasuki tahun yang ke-9. Kesepakatan yang dicapai di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam, yang dinamakan Nota Kesepahaman (Momerandum of Understanding / MoU) atau oleh masyarakat Aceh lebih akrab menyebutnya MoU Helsinki, merupakan upaya untuk mengakhiri pertumpahan darah yang telah dimulai sejak tahun 1976. Kedua belah pihak yang bertikai dalam konflik Aceh, baik separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) maupun Pemerintah Pusat (Jakarta), yang diidentifikasikan sebagai Republik Indonesia (RI) oleh pihak GAM untuk melegitimasi wilayah Aceh yang independen sekaligus meneguhkan posisinya dengan mengatasnamakan rakyat Aceh, berinisiatif menghentikan konflik melalui cara damai. Kesepakatan luhur ini dilakukan untuk mengurangi beban dan penderitaan rakyat Aceh akibat deraan konflik berkepanjangan, yang saat itu sedang ditimpa musibah dahsyat berupa gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.

Bila dikaji lebih mendalam, inisiatif perdamaian Aceh yang dituangkan dalam MoU Helsinki hingga berlanjut pada pengesahan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai wujud implementasi, pihak Pemerintah Pusatlah yang sangat berkeinginan agar konflik Aceh segera dihentikan. Hal ini terungkap setelah pengakuan seorang tokoh perdamaian Aceh yang bernama Muhammad Jusuf Kalla. Pada saat upaya perdamaian sedang digagas, Jusuf Kalla bahkan beberapa kali pulang-balik Jakarta-Stockholm (Swedia), untuk menjumpai para petinggi GAM yang berdomisili di Swedia. Upaya Jusuf Kalla bersama Tim Delegasi Pemerintah Indonesia yang dilakukan secara berkala itu akhirnya berlangsung sesuai harapan rakyat Aceh dan makin dipercepat tatkala musibah gempa dan tsunami terjadi pada Minggu, 26 Desember 2004.

Demi kemaslahatan rakyat Aceh, pihak Pemerintah Pusat rela “mengalah” pada tuntutan pihak GAM, untuk meraih kemenangan yang diwujudkan melalui pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi yang dijuluki Serambi Mekkah ini. Upaya percepatan pembangunan Aceh dilakukan Pemerintah Pusat dengan menggelontorkan dana triliunan rupiah melalui Otonomi Khusus dan sejumlah keistimewaan, yang diberikan kepada Provinsi Aceh. Termasuk kehadiran Partai Lokal, pengelolaan minyak dan gas (migas) sejauh 12 mil dari pantai Aceh ditambah 200 mil untuk dikelola bersama (Provinsi dan Pusat) serta pengalihan pengelolaan bidang pertanahan (11 dari 23 item) yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Provinsi Aceh.

Walaupun setelah dikelola oleh Pemerintah Aceh, puluhan dana triliunan rupiah dari Pemerintah Pusat masih tidak jelas muaranya. Dampak bagi peningkatan kesejahteraan rakyat Aceh juga sangat minim. Ini menjadi misteri. Kecuali bagi para bekas elit GAM, yang “simsalabim” mendadak kaya, memiliki sejumlah mobil mewah, membangun rumah bak istana dan tentunya “koleksi” pasangan hidup (istri) jadi bertambah hingga mencapai batas “halal” (4 orang). Dalam hal istri, lihatlah jumlah “koleksi” Muzakkir Manaf (Wakil Gubernur Aceh). Padahal sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Aceh bahwa rata-rata latar belakang mereka bukanlah pengusaha.

Dalam UUPA, dua hal terakhir menyangkut hajat hidup orang banyak (migas dan pertanahan) yang ingin dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah Pusat sebagai turunan undang-undang, ditolakoleh Pemerintah Aceh (yang saat ini didominasi oleh eks-GAM). Hal ini justru bertentangan dengan semangat implementasi butir-butir MoU Helsinki, yang selama ini acap kali digembar-gemborkan sedang “diperjuangkan” oleh Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf (Zikir).

Seandainya Pemerintahan “Zikir” konsisten dengan butir-butir perjanjian Helsinki, seharusnya turunan UUPA menyangkut migas dan pertanahan telah lama disetujui oleh Pemerintah Pusat. Sehingga bisa langsung berdampak pada percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Namun, semua upaya implementasi turunan UUPA itu tersandung akibat penolakan dari mantan elit GAM sendiri. Penolakan ini justru menguatkan dugaan bahwa Pemerintahan “Zikir” serta DPRA periode 2009-2014, yang dominan eks-kombatan GAM, telah berkhianat pada rakyat Aceh.

Perdamaian Aceh Digadaikan

Baru-baru ini muncul gerakan yang menuntut Zaini Abdullah mundur dari jabatannya sebagai Gubernur Aceh. Aksi yang dilakukan oleh Barisan Penyelamat Pemerintah Aceh (BPPA) ini merupakan bentuk kekecewaan terhadap kinerja Pemerintah Aceh selama berada di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah. Gerakan BPPA menyebutkan beberapa kemunduran yang terjadi saat Zaini menjadi Gubernur Aceh. Antara lain: meningkatnya KKN, indeks pendidikan Aceh merosot, ekonomi daerah terpuruk, angka kemiskinan dan pengangguran melonjak, serta turunan UUPA tersendat. Ini diperparah dengan sikap Zaini yang cenderung menjaga “jarak” dan menutup diri dengan publik.

[caption id="attachment_324290" align="aligncenter" width="600" caption="Aksi BPPA Menuntut Zaini Abdullah Mundur dari Jabatannya sebagai Gubernur Aceh (portal.radioantero.com)"]

1410863211798593141
1410863211798593141
[/caption]

Tuntutan yang dilakukan oleh gerakan BPPA sangat wajar dan sudah lazim terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dulu, saat gerakan Reformasi 1998 dilakukan terhadap rezim Orde Baru yang dipimpin oleh mendiang Presiden Soeharto, juga sama persis seperti tuntutan BPPA, yakni menghendaki Indonesia yang bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) serta menginginkan sistem birokrasi yang giat bekerja untuk pelayanan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Namun, beberapa hari kemudian pasca aksi BPPA, muncullah Gerakan Anti-Barisan Penyelamat Pemerintah Aceh (GA-BPPA). Dalam orasinya, aktivis GA-BPPA menyampaikan bahwa aksi BPPA yang menuntut Zaini mundur dari kursi Gubernur dapat “mengancam” perdamaian Aceh. Sinyal tendensius yang ingin disampaikan kepada publik Aceh oleh GA-BPPA, yaitu para aktivis yang mendesak Zaini mundur adalah perusak perdamaian Aceh. Aksi yang dilakukan oleh Gerakan Anti-BPPA hanya melibatkan para pemuda dan mahasiswa “kemarin sore”, yang tidak bersinggungan langsung dengan peristiwa konflik Aceh di masa silam. Dan, terkesan ada yang “memesan” sebagai perisai pihak yang sedang tersudut. Sehingga dilontarkanlah pernyataan bahwa perdamaian Aceh sedang “terancam”.

[caption id="attachment_324291" align="aligncenter" width="544" caption="Gerakan "]

14108633242113641000
14108633242113641000
[/caption]

Pernyataan GA-BPPA terhadap para aktivis BPPA sangatlah kontras dengan realita di lapangan. Sebab, komponen yang ikut berpartisipasi dalam gerakan BPPA juga melibatkan para masyarakat korban konflik seperti janda-janda dan orang-orang yang kehilangan sanak-familinya selama konflik di Aceh.

Kenyataan di Aceh menunjukkan bahwa masih ada pihak yang tega “menggadaikan” perdamaian Aceh untuk meredam kritikan terhadap ketidakmampuan penguasa dalam melaksanakan roda pemerintahan dan pembangunan. Kondisi demikian tak ubahnya rezim Orde Baru masa lalu yang menekan rakyat agar tidak bersikap kritis terhadap penguasa. Persis sama dengan situasi penguasa Aceh saat ini, yang membedakan hanya produk “kemasan lokal” hasil duplikat dari rezim Orde Baru era Soeharto.

Akhirnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru “kemasan lokal” di Aceh adalah “memesan” kawula muda “tanggung” yang bermental “asal dapat rupiah” dengan bingkisan status “pemuda dan mahasiswa” untuk dijadikan sebagai “penjual” perdamaian Aceh, yang bertugas melabel pihak yang melancarkan sikap kritis terhadap Gubernur Aceh sebagai “ancaman” terhadap perdamaian Aceh.

Alhasil, jadilah mereka sebagai “penjual” perdamaian Aceh. Habeh lagei!

Sumber gambar => antarafoto.com (1), portal.radioantero.com (2), acehkita.com (3)

Ruslan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun