Mohon tunggu...
Ruslan Jusuf
Ruslan Jusuf Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, travel, dan gemar kuliner tradisional

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syari’ah Aceh Fokuskan Kelamin

28 September 2014   08:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:13 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_325960" align="aligncenter" width="663" caption="Ilustrasi jenis kelamin (viva.co.id)"][/caption]

MEMBACA kabar tentang revisi qanun (perda) jinayat (pidana Islam) yang dirilis oleh salah satu media lokal di Aceh, memberikan suatu kesimpulan bahwa penegakan syari’at Islam yang sering dijadikan sebagai ikon provinsi Aceh semakin menampakkan karakter asli dari para anggota parlemen Aceh tentang interpretasi nilai-nilai syari’ah versi produk legislasi yang mereka rancang dan “dipaksakan” implementasinya terhadap rakyat Aceh. Betapa tidak, setelah satu dekade lebih pelaksanaan syari’at Islam, persoalan yang hendak dibahas hanya berkutat pada “urusan kelamin”.

Pada Jum’at (26/9/2014), secara resmi melalui sidang paripurna, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan qanun jinayat yang penuh kontroversi tersebut. Jika mengacu pada substansi yang ingin dicapai dan tingkat partisipasi masyarakat dalam penyusunan qanun jinayat, maka dapat dipastikan bahwa pengesahan itu cuma sekadar bersumber dari desakan golongan fundamentalis yang selama ini ingin selalu mendominasi setiap produk hukum daerah yang dirancang di provinsi Aceh. Jika ada aspirasi yang berbeda, dengan mudahnya para penyebar paham radikal ini melabelinya dengan “antek Israel”, “anti-Islam”, dan sebagainya. Sebab itulah, banyak masyarakat Aceh sangat pasif menanggapi pengesahan qanun jinayat. Padahal jika dikaji lebih mendetil, lambat-laun produk hukum seperti qanun jinayat akan menggerus budaya Aceh dan melanggengkan proses “Arabisasi” yang menjadi tujuan utama para pengusung ideologi fundamentalis yang bernafaskan Arab.

Perkembangan tentang kondisi sosial di Aceh memang sangat pelik untuk dibahas. Belum lagi, cengkeraman pengusung “budaya Arab” yang senantiasa memberikan stigma bagi rakyat Aceh yang berani menyuarakan penolakan terhadap paham radikal mereka yang “dibungkus” dengan embel-embel agama. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa produk hukum seperti qanun jinayat dapat digunakan untuk memfitnah atau mencelakai pihak lain. Baik itu akibat persaingan bisnis maupun sentimen pribadi. Dengan dalih menegakkan hukum agama, setiap aspirasi yang berbeda langsung dicap sebagai “kafir”. Dan, itu sedang dan telah terjadi di Aceh.

Mengenai ketentuan apa saja yang “menonjol” dari substansi qanun jinayat dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

[caption id="attachment_325961" align="aligncenter" width="736" caption="Infografis qanun jinayat (atjehpost.co)"]

1411841981990006330
1411841981990006330
[/caption]

Semenjak pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, dari sekian banyak hukuman seperti penjatuhan hukuman cambuk di depan publik, pihak yang disasar kebanyakan berasal dari kaum perempuan. Dan, sebagian besar dari korban penghukuman itu berasal dari keluarga kurang mampu atau pun bukan dari kalangan elit di Aceh. Coba lihat, berapa banyak pelaku koruptor di Aceh yang juga ikut dikenakan hukuman cambuk? Bandingkan dengan korban-korban pelaksanaan hukuman jinayat yang telah dihukum. Kesalahan yang ditimpakan pada mereka hanya berdampak pada diri pribadi dan sebagian kecil masyarakat.

Sedangkan koruptor, perbuatannya berdampak sistemik pada setiap lapisan golongan masyarakat. Kalau alasan “moral” dijadikan sebagai alibi untuk menimpakan hukuman yang diskriminatif tersebut, siapakah yang lebih rusak moralnya antara penjudi kelas teri dengan para koruptor yang bersembunyi dibalik “simbol-simbol agama?”

[caption id="attachment_325962" align="aligncenter" width="720" caption="Orang-orang yang suka cari sensasi di Aceh (tribunnews.com)"]

1411842079271671666
1411842079271671666
[/caption]

Hal diskriminatif lainnya adalah qanun jinayat juga ikut menyertakan kalangan non-muslim sebagai objek penghukuman bila dianggap melanggar. Ini jelas dapat merusak kebhinnekaan Republik Indonesia dan pastinya akan dievaluasi oleh Kementerian Dalam Negeri. Belum lagi, Aceh sedang giat-giatnya menggaet para investor agar menanamkan modalnya di wilayah ini. Bukankah ini tidak sinkron dan justru bertolak-belakang?

Berbagai pikiran irasional yang dijadikan alibi pihak berpaham ideologi radikal agar masyarakat Aceh “dipaksa” untuk menerima dan melaksanakan kekonyolan yang mereka rencanakan. Sejumlah bagian dari budaya Aceh dituduh bid’ah; bahkan cara berpakaian pun tidak hanya cukup menutup aurat, tapi harus meniru habis impor dari Arab. Kalau hal ini terus berlangsung di Aceh, yang paling dirugikan justru masyarakat Aceh itu sendiri. Sedangkan, para pengusung ideologi radikal dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat seperti kaum nomaden, yang parahnya selalu membuat kekacauan di mana pun mereka berada.

Oleh sebab itu, sudah sepantasnya masyarakat menanggapi para pengusung ideologi radikal di Aceh agar diberikan “pelajaran”. Supaya wabah yang mereka tebar tidak menjadi penyakit di kemudian hari bagi masyarakat Aceh. Apalagi masyarakat Aceh “dipaksa” mengurus hal-hal yang menyangkut “selangkangan” atau kelamin seperti pola pikir para penganut paham radikal, yang gemar mengoleksi pushtun-pushtun (istilah perempuan yang pernah dilontarkan politisi PKS yang terlibat korupsi). Dan itu, hendak diinfiltrasi ke dalam pikiran masyarakat Aceh. Sehingga dapat memperburuk citra masyarakat Aceh di luar daerah, yang kemungkinan akan dipersepsikan produk hukumnya hanya fokus pada kelamin.

Untuk itu hanya ada satu kata: TOLAK!

Ruslan

Sumber:

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun