Mohon tunggu...
Ruslan Jusuf
Ruslan Jusuf Mohon Tunggu... -

Suka membaca, menulis, travel, dan gemar kuliner tradisional

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kontroversi Qanun Jinayat Aceh

30 September 2014   07:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:58 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_326397" align="aligncenter" width="340" caption="Seorang Perempuan sedang dicambuk di depan khalayak ramai, Banda Aceh (dok. newyorktimes.com)"][/caption]

PENGESAHAN qanun jinayat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Jum’at (26/9/2014) melalui sidang paripurna, telah menimbulkan kontroversi yang serius. Penghukumannya menggunakan cambuk yang ditujukan terhadap fisik dari orang-orang yang dianggap bersalah. Jenis hukuman cambuk tentu saja sangat merendahkan martabat manusia. Sebab, orang yang “disalahkan” juga ikut dipermalukan dihadapan publik, yang melihat hukuman cambuk ibarat “hiburan” di atas panggung. Sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia, qanun jinayat Provinsi Aceh dapat digugurkan demi hukum dan kepentingan umum. Sebab, selain telah berbeda jauh dengan penghukuman yang berlaku dalam sistem pidana di Indonesia, qanun jinayat Aceh juga akan memperburuk citra Indonesia di mata Internasional, yang dalam beberapa tahun terakhir telah semakin membaik.

Dalam kiprahnya sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan serta Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik. Sehingga konsekuensinya, Indonesia harus menentang setiap penyiksaan berupa hukuman yang merendahkan martabat seseorang, seperti pencambukan; dan memenuhi setiap hak-hak warganegara-nya. Termasuk hak untuk tidak dipermalukan dihadapan publik secara gamblang, yang sekaligus dikenakan hukuman fisik, yaitu dicambuk.


Pasal 16 Konvensi Anti-Penyiksaan disebutkan bahwa: “Setiap Negara Pihak harus mencegah, di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.”

Sedangkan Pasal 7 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik berbunyi: “Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas.”

Bunyi Pasal yang tercantum dalam substansi kedua landasan hukum di atas, menegaskan bahwa setiap negara pihak (anggota) berkewajiban melindungi rakyatnya dari segala penyiksaan dalam bentuk apa pun. Termasuk hukuman badan sebagaimana cambuk di Aceh. Alibi-alibi pihak tertentu yang “mengatasnamakan perintah Tuhan” tidak boleh dijadikan sebagai pembenaran untuk merendahkan martabat setiap insan manusia.

[caption id="attachment_326394" align="aligncenter" width="625" caption="Hukuman Cambuk di Aceh (dok. AFP)"]

1412009499507185931
1412009499507185931
[/caption]

Republik Indonesia sebagai negara hukum, yang berbentuk kesatuan, melalui otoritas-otoritas yang diberi kewenangan untuk mengkaji setiap produk hukum yang dihasilkan; baik ditingkat pusat maupun daerah, harus berani mencabut atau membatalkan suatu produk hukum, bilamana telah bertentangan dengan hukum tertinggi (Konstitusi) negeri ini. Sebagaimana penghukuman yang menggunakan cambuk di Aceh.

QANUN JINAYAT DIPAKSAKAN SEGELINTIR ORANG

Kehadiran qanun jinayat yang “cacat” hukum – bila mengacu pada aturan yang lebih tinggi – merupakan suatu “pemaksaan” yang dilakukan oleh segerombolan orang yang gemar melabeli orang lain “telah melakukan maksiat” dan senang akan penggunaan kekerasan terhadap orang yang berseberangan dengan kepentingan gerombolan ini.

[caption id="attachment_326396" align="aligncenter" width="780" caption="Anggota FPI yang membentangkan spanduk di simpang lima, Banda Aceh. FPI terkenal gemar memaksakan kehendak pada orang lain. Termasuk dengan cara kekerasan (dok. kompas.com)"]

1412009747487030371
1412009747487030371
[/caption]

Pada masa Aceh masih bergolak dalam konflik, kawanan ini “menyusup” melalui aktivitas sosial-politik yang berperan seolah-olah mewakili mayoritas masyarakat Aceh. Mereka mendesak Pemerintah Pusat agar memberlakukan Syari’at Islam di Aceh sebagai “solusi” penyelesaian konflik. Toh, pada akhirnya bukan ini yang menjadikan perdamaian Aceh berhasil disepakati, melainkan pemberian kesempatan kepada daerah Aceh untuk mengelola ekonomi, budaya dan sosial-politik secara mandiri melalui otonomi khusus, yang berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Eh tiba-tiba, gerombolan orang-orang yang kerap “bersembunyi” di balik simbol-simbol agama menampilkan diri bak pahlawan yang “tahu segalanya” tentang kehidupan rakyat Aceh.


Poin penting dari tuntutan keadilan rakyat Aceh terhadap Pemerintah Pusat di Jakarta adalah:


  1. Pengelolaan ekonomi yang adil;
  2. Pelestarian kebudayaan;
  3. Keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan sosial; serta
  4. Kesempatan untuk menyuarakan aspirasi politik sebagaimana daerah-daerah lain di Indonesia.

Pada saat itu, mayoritas rakyat Aceh tidak menginginkan penerapan Syari’at Islam sebagaimana yang terjadi hari ini. Kenyataan bahwa di Aceh telah resmi diperbolehkan menjalankan hukum syari’ah telah “diplesetkan” oleh orang-orang penyebar ideologi “kembaran” ISIS untuk mencengkeram sendi-sendi kehidupan rakyat Aceh. sebab itulah, mayoritas masyarakat Aceh saat ini – terutama di pedesaan – cenderung bersikap pasif dan kurang produktif serta kreatif dalam menemukan ide-ide baru yang bermanfaat bagi ekonomi untuk peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.

PEMERINTAH DIHARAP SEGERA TANGGAP

Kementerian Dalam Negeri sebagai otoritas yang berwenang mengevaluasi setiap produk hukum yang dihasilkan di daerah, sudah sepantasnya menanggapi hal-hal krusial seperti qanun jinayat di Aceh untuk segera dibatalkan agar memberikan kemaslahatan bagi segala kepentingan umum di Republik Indonesia. Sebab, tanpa campur-tangan dari Kemendagri, dapat dipastikan akan terjadi kezaliman secara sistematis dan masif di Aceh.

Lebih memilukan, qanun jinayat hanya menyasar kalangan rakyat biasa (grass root), tanpa sama-sekali memberikan perhatian pada kejahatan yang dilakukan oleh para koruptor di wilayah ini. Padahal provinsi Aceh termasuk dalam urutan yang tinggi kasus korupsi yang terjadi di seluruh Indonesia.

Pun demikian, hal terpenting adalah semangat Pancasila yang telah susah-payah dibangun oleh pendiri negeri ini, jangan sampai dicerai-berai oleh segerombolan orang yang berwatak preman, kerap melakukan kekerasan, dan gemar menimbulkan huru-hara di mana pun mereka berada – yang juga berlindung di balik simbol-simbol agama – agar segera diakhiri dan mendapat perlindungan oleh Negara melalui otoritas-otoritas yang diberikan kewenangan untuk melakukan itu. Dalam hal Aceh, Kemendagri diharapkan berperan secara aktif untuk mencegah segerombolan orang mengacaukan tatanan dan sistem hukum di Indonesia. Semoga!

Ruslan

Sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun