Media sosial adalah platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling bersosial, baik itu berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto dan video. Dengan segala kemudahan, dan kelengkapan fitur yang ditawarkan, media sosial semakin lama semakin menanamkan kuat pengaruhnya di kehidupan manusia. Media sosial tidak lagi hanya sebatas media komunikasi antar dua orang, melainkan bermanuver menjadi suatu perantara utama dalam menyebarkan informasi ke khalayak. Penggunaan media sosial yang sedemikian rupa menimbulkan berbagai implikasi, baik itu berupa dampak positif maupun negatif (Nuraeni & Sugandi, 2017). Tidak terkecuali pada praktik dunia jurnalistik dan jurnalisme.
      Apabila menarik ulur waktu, jauh sebelum adanya campur tangan sosial media, jurnalisme dilakukan dengan menggunakan media papan Bernama Acta Diurna pada masa pemerintahan Julis Caesar. Pada masa ini, jurnalisme fokus pada catatan proses dan keputusan hukum, lalu berkembang menjadi pengumuman kelahiran, perkawinan, hingga keputusan kerajaan atau senator dan acara pengadilan. Seiring perkembangan teknologi, media yang digunakan dalam praktik jurnalisme kian berubah. Kini, jurnalisme telah memiliki beragam wajah, baik berupa media cetak, media elektronik, hingga kini media sosial (Hadi, 2010).
      Sedangkan ketika membicarakan dampak positif hadirnya media sosial dalam campur tangan jurnalisme, maka dengan mudah ditemukan jawaban bahwa media sosial memudahkan pekerjaan jurnalisme. Media sosial menawarkan fitur yang murah, mudah, dengan kemampuan dalam menjangkau audiens secara luar biasa cepat dan luas. Media sosial membuka peluang adanya pertukaran informasi yang berlangsung kilat dalam berbagai bentuk, mulai dari teks, audio, visual, maupun audio-visual.
      Kemudahan fitur tersebut menjadikan kegiatan jurnalistik yang memiliki tujuan utama untuk menyebarkan dan memberikan informasi kepada khalayak dengan lebih mudah. Jurnalistik yang awalnya dikaitkan dengan pemberitaan peristiwa yang sudah terjadi kini mengalami pergeseran makna menjadi kegiatan untuk melakukan pemberitaan pada peristiwa yang sedang terjadi. Selain itu, media sosial juga mampu merangkul masyarakat untuk turut menyebarkan informasi, sehingga berdampak positif pada elemen jurnalisme masyarakat, yang menepatkan masyarakat sebagai bagian aktif dalam jurnalisme.
      Media sosial juga memiliki akses yang tidak terbatas dengan harga yang cenderung murah bahkan gratis. Media sosial tidak membutuhkan biaya operasional dan produksi yang mahal sebagaimana media cetak dan media penyiaran seperti televisi dan radio. Hal ini menjadikan kegiatan jurnalisme menjadi jauh lebih mudah dilakuakan, dan para pelaku jurnalistik dapat fokus dalam menjalani tanggungjawabnya, ketimbang memikirkan untung rugi perusahaan apabila biaya produksi dan operasional seperti pada media konvesional melebihi pemasukan.
      Namun demikian, segala keuntungan tersebut tidak berujung manis begitu saja, melainkan ada harga yang harus dibyayar oleh jurnalisme sebagai dampak negative penetrasi media sosial dewasa ini. Praktik jurnalistik di media sosial nyatanya seringkali menyimpang dari kaidah jurnalisme. Kaidah tersebut dikenal dengan istilah accuracy--balance--clarity (ABC). Accuracy merujuk pada kebenaran berita dari sumber yang juga benar. Balance merujuk pada keseimbangan pemberitaan yang tidak memihak. Sedangkan Clarity mengacu pada kejelasan maksud berita sehingga terhindar dari ambiguitas (Hamna, 2017).
Pada kaidah akurasi misalnya, media sosial tidak memiliki perangkat untuk menyaring informasi yang benar dan faktual. Instannya media sosial kerap membuat informasi yang beredar menjadi 'banjir' dan tidak mampu tersaring kebenaran. Hal ini tentu memiliki potensi bahaya hoaks dan pemberitaan palsu, yang kemudian akan merugikan masyarakat dan pelaku jurnalistik sendiri. Selain itu, maraknya berita bohong menyebabkan kepercayaan publik pada media cenderung menurun. Sudah banyak kasus terjadi di mana media sosial menjadi dalang dalam penyebaran informasi palsu dan berita bohong di publik.
      Pada kaidah keseimbangan, media sosial sebagai sebuah perangkat yang bebas cenderung berpotensi dikendalikan oleh sebagian kelompok untuk kepentingan tertentu.  Pada konteks dewasa ini misalnya, terdapat tren buzzer yang merupakan seseorang yang menyuarakan suatu pendapat secara langsung, dengan menggunakan identitas pribadi atau identitas yang disembunyikan, untuk menyatakan suatu kepentingan di dalam media sosial (Surya Abadi, 2019). Buzzer ini rawan digunakan oleh kelompok tertentu untuk menggiring opini dan pemberitaan sehingga cenderung menyudutkan satu pihak, khususnya pada topik kontroversial seperti politik.
      Sedangkan pada kaidah kejelasan, media sosial merupakan perangkat yang sederhana dan dapat digunakan oleh siapa saja. Media sosial tidak mengharuskan penggunaan Bahasa baku yang efektif. Hal ini menyebabkan informasi di media sosial kerap memiliki beragam bentuk sesuai dengan kepribadian orang yang membagikannya. Hal ini berpotensi menyebabkan kebingungan bagi pembaca terkait informasi dan berita yang dilaporkan kepada khalayak. Berbeda dengan jurnalisme di media konvesional yang cenderung tegas dalam pemilahan diksi, kalimat, dan penyajian berita, media sosial tidak mengenal regulasi tersebut, dan menyerahkan sepenuhnya pada pengguna.
      Dampak negatif di atas sejatinya lahir dari surutnya pengetahuan dan ilmu mengenai jurnalisme, dan kaidah yang berlaku. Hal ini menyebabkan masyarakat cenderung mudah melupakan kaidah tersebut. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran dampak positif dan negative tersebut adalah sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan. Hal yang dapat dilakukan adalh dengan terus berupaya mengimbangi cepatnya perkembangan teknologi sehingga jurnalisme tetap eksis di tengah masyarakat yang haus akan informasi dan berita terkini.
      Sudah seharusnya pula masyarakat dibekali oleh ilmu mengenai literasi media dan digital. Hal ini dilakukan agar masyarakat terhindar dalam melakukan tindakan-tindakan yang tidak giinginkan seperti ikut menyebarkan hoaks, menggiring opini, atau menyebarkan informasi yang kejelasannya masih dipertanyakan dan tidak mudah dipahami. Dengan kemampuan literasi digital yang mumpuni di masa dewasa ini, maka pemafaatan media sosial dalam kegiatan jurnalisme akan terminimalisir dampak negatifnya.