Sebagai seorang raja tentunya hak istimewa disandangnya. Kenyamanan dan kenikmatan akan selalu dihadirkan demi sang Raja. Tapi ini hanya sebuah ilustrasi dari pepatah "Pembeli (baca:konsumen) adalah Raja". Nyatanya raja raja itu tak selamanya mendapatkan haknya. Raja raja ini seringkali mendapat perlakuan yang sangat merugikan , menyakitkan memang .
Yang paling anyar adalah kasus delay dan pembatalan penerbangan Lion Air. Ribuan raja terlunta lunta di bandara . Mereka menjerit dan berteriak marah. Emosi mereka memuncak. Sebagian yang tak mampu meluapkan emosinya hanya pasrah diam menunggu kepastian. Sementara sang operator penerbangan raib , lenyap bagai ditelan bumi.
Ribuan 'raja' yang telah membayar harga tiket yang telah disyaratkan itu bingung harus kemana. Walau akhirnya Angkasa Pura 2 menalangi pengembalian uang tiket hampir 3 Milyar rupiah karena sang operator pelayanan mengaku tak punya uang tunai. Proses pengembalian itu sebenarnya tak serta merta menyelesaikan masalah. Alangkah sembrononya penyelenggara layanan jasa penerbangan Lion Air bila masalah delay hingga gagal terbang hanya selesai sampai uang tiket dikembalikan. Sejatinya banyak pihak yang dirugikan.
Kerugian material tentu berlipat kali dari harga tiket, apalagi kerugian immaterial tentu sulit dikalkulasi . Mulai waktu yang terbuang hingga terbengkalainya urusan kepentingan si 'raja' ditempat tujuan. Ada yang batal bertemu keluarga, batal liburan, batal menikah, batal menandatangi proyek bisnis, batal bekerja, hingga batal lainnya yang sangat spesifik lagi.
Beberapa hari yang lalu di gresik, seorang balita yang diduga menderita tumor mendapatkan tindakan malpraktek dari sebuah rumah sakit ibu dan anak di kota itu. sang balita mengalami kulit biru biru pasca operasi. Tak ada layanan dan perhatian kesehatan yang sepantasnya diterima si pasien dari pihak rumah sakit swasta ini. Keluarga yang kecewa itu akhirnya melarikan sang balita ke RSUD Gresik untuk mendapatkan pertolongan. Sang balita yang lemah itu kini terbaring di ICU dalam keadaan koma. Lagi lagi sang 'raja' mendapatkan pengabaian. Seenaknya penyelenggar pelayanan menelantarkan pasien yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Penjelasan dan komunikasi dari pihak rumah sakit pun tak ada .
Momok penelantaran 'raja' di negeri terjadi hampir disemua level pelayanan. Baik oleh pihak swasta maupun pihak pemerintah. Tak adanya sangsi tegas dan lemahnya pengawasan membuat penyelenggara layanan seenak dan semaunya . Padahal tindakannya itu sangat merugikan dan mengganggu kenyamanan malah membahayakan keselamatan jiwa sang 'raja'.
Profesionalisme Barang Langka
Pelayanan erat kaitannya dengan profesionalisme. Di negeri ini tingkat profesionalisme sangatlah rendah. Budaya tidak bertanggung jawab, melarikan diri, mencari selamat, mencari kambing hitam, mangkir dalam tugas hingga masih buruknya kinerja menjadi biang rusak dan teledornya pelayanan publik di negeri ini.
Sulit untuk dipungkiri bila sebagai bangsa kita tak mampu menyaingi kemajuan yang dicapai bangsa lain karena kita tidak mau mengubah budaya tidak profesional dari setiap pekerjaan yang kita lakukan. Kita bekerja dan melakukan sesuatu dengan seadanya saja sekedar menggugurkan tugas. Belum lagi budaya jalan pintas yang selalu ingin ditempuh. Padalah jalan pintas yang dipilih adalah jalan pintas yang merugikan pihak lain. Menyerobot hak orang lain.
Kalau sudah begini lantas apa yang bisa kita perbuat ?
Kita tak perlu pesimis. Sebagai bangsa besar yang punya kekayaan alam melimpah, keanekaragaman budaya, kekuatan sumber daya manusia yang besar kita memerlukan upaya dan kerja yang lebih kuat. Menanamkan pendidikan profesionalisme sejak dini, mengajari perilaku bertanggung jawab, menjalankan tugas dan amanah dengan sempurna pada setiap level pekerjaan.