Tulisan tentang "Men-Jonru dan gaya eponemi " yang ditulis kompasianer yang mukim di Kota Gudeg ini luar biasa kaya. Mengalir bak sungai di pegunungan yang turun ke dataran rendah. Kosa kata pilihannya mampu membuat pembaca tak bergeming. Saya , yang menyukai tulisan Ayu Utami seperti terbelalak. Bukan membandingkan, tapi gaya Fandi menuturkan sebuah tulisan seperti ayu utami menuliskan novel novelnya. Lepas dari konten Novel Ayu Utami yang membuat sebagian apriori. Memang berbeda kedua orang ini dalam bertutur dalam tulisan. Ada benang merahnya, kemiripannya adalah pilihan kosa kata yang kaya dan tak terduga. Ciamik sekali.
Saya , termasuk orang yang suka belajar dan mencoba mencari kekeuatan Fandi dalam menulis. Saya beruntung sekali karena pernah bercakap dengan Fandi cukup intens tentang fiksi ketika perjalanan tour di Situbondo. Diatas kapal kayu, Fandi bercerita kesukaannya membaca novel asing dengan bahasa aslinya. Ia dengan lancar bercerita tentang sebuah novel asing yang menurut dia punya kekuatan data riset yang sangat kuat. Novel yang karya Fiksi juga menggunakan data riset yang sangat kuat. Hasil sebuah riset yang ilmiah dan kontekstual urai Fandi ketika itu dan itu menjadi kelemahan kebanyakan penulis di negeri ini. Kalau kita membaca tulisan Fandi akan terlihat kekuatan data yang dimilikinya sangat akurat. Jejalan data yang disarikan terasa kuat menyentak .
Lihat karya terbaru Fandi, Ia menjawab sebuah celah sulit yang berhasil ia bongkar dimana mungkin sebagian kita tak mampu melihatnya. Tulisannya bagaikan seorang pakar bahasa indonesia yang menguliti majas eponemi secara mudah dan menarik. Uniknya pembahasan itu murni pembahasan tentang kata per kata dan contoh aktual penggunaan kata tersebut. Sebelum kenal Fandi saya mengira kompasianer ini punya pendidikan khusus bahasa indonesia. Mungkin seorang guru bahasa Indonesia pikir saya.Ternyata keliru.
Beruntunglah kompasiana memiliki seorang Fandi Sido, maka ganjaran fiksianer terbaik 2013 pantas dan layak disandangnya. dan kompasianer lainnya yang mungkin pemula seperti saya bisa belajar dan memetik cara dan gaya menulis yang baik. Seperti kata Mas Embong ketika kompasianival yang lalu. Dunia maya itu tak mempunyai maaf , bila kita terjerumus melakukan kesalahan menulis ia akan tetap mencatat tulisan kita kapanpun itu. Juga begitu sebaliknya
Lalu apa pelajaran yang kita petik.
Ada tiga hal, satu . secara pribadi saya tertantang untuk juga bisa menulis dengan pilihan kosa kata yang kaya dan menarik. Alur yang lancar dan nyaman dibaca hingga akhir tulisan. Dua, data yang kuat dan bermanfaat. Tulisan yang mempunyai data yang kuat punya roh yang menghidupkan tulisan, bukan sekadar ilusi apalagi fitnah kira kira . Tulisan apapun itu harus punya data yang kuat. tiga, Ini yang sulit dan jarang bisa diikuti, kejeniusan penulis melihat celah pembahasan yang tak tampak "kasat mata". ketika kompasianival, Budiarto Shambazy menekankan seorang penulis harus mampu melihat celah itu. Menarik dan tidaknya tulisan menurut wartawan senior kompas ini ada pada celah menarik yang mungkin tak lihat penulis lainnya.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H