[caption caption="Kegiatan belajar dengan sarana terbatas, tak mengurangi semangat belajar. Walau harus berebut mencatat materi pelajaran. (Foto : Rushan Novaly)"][/caption]Sebagai seorang relawan sosial yang terjebak menjadi seorang guru formal disebuah SMA membuat saya harus berlari mengejar ilmu mendidik. Jangan ditanya dimana saya mendapatkan ilmu mengajar. Jangan dicari dimana saya belajar penguasaan kelas. Semuanya saya lakukan learning by doing. Copy paste dari guru senior yang lebih mumpuni. Walau ternyata copy paste tak cocok digunakan di dunia pendidikan. Nuansa kelas punya keunikan. Saya batalkan saja copy paste.
Dunia pendidikan sejatinya dunia yang sangat dekat. Kedua orangtua saya guru. PNS yang digaji resmi pemerintah. Adik saya nomor dua juga guru. Dan yang paling dekat, teman tidur saya juga seorang guru. Lengkap sudah saya dikelilingi orang yang paling banyak jasanya , kata sebuah lagu.
Pertama kali berdiri didepan kelas walau bisa menguasai keadaan, saya hanya memberikan motivasi belajar. Selain ingin mengenal lebih dulu calon murid-murid saya. Saya melakukan serangkaian uji coba mengajar ala saya. Ya, cara mengajar yang menitik beratkan pada praktek dan latihan. Paling tidak saya tahu sejauh mana materi saya bisa ditelan dan tidak membuat muntah para calon murid saya.
Hari pertama cukup sukses. Saya berhasil menguasai kelas. Dan pada hari pertama pula saya mengetahui calon murid saya berasal dari keluarga prasejahtera. Sekolah yang saya masuki adalah sekolah tanpa memungut biaya. Semuanya gratis. Orang tua yang boleh memasukkan anaknya juga terseleksi orang yang tidak mampu alias berpenghasilan minim.
Tiga puluh anak yang datang karena sekolah lain tak mampu dimasuki karena kendala keuangan. Saya mahfum dan saya bangga menjadi salah satu bagian sekolah gratis ini. Maka saya tidak pernah berharap dibayar atas jasa mendidik . Dan memang benar, tak ada uang yang saya terima sebagai honor atau gaji guru.
Kemiskinan yang Mengungkung
Suasana kelas juga memang berbeda. Murid-murid saya cenderung pasif. Semangat belajar dibawah rata rata. Bahkan kemampuan dasar juga amat minim. Keterbatasan ekonomi ternyata berpengaruh pada pola belajar. Keterbatasan akses belajar, seperti tak memiliki buku belajar, tak mempunyai waktu cukup untuk belajar karena harus membantu orangtua bekerja. Hingga kekurangan asupan protein. Semuanya bertalian dalam membentuk pola belajar siswa dikelas.
Tiga bulan pertama saya harus bekerja keras. Tingkat mbolos siswa sangat tinggi. Kadang tak tanggung-tanggung satu kelas hilang entah kemana ketika saya sudah siap mengajar. Untuk kasus ini saya marah besar dengan memberikan ultimatum yang terhitung keras. Saya tak akan lagi mau menjadi guru di kelas bila kejadian hilangnya satu kelas terjadi lagi. Dua perwakilan kelas menemui saya dan menjamin kejadian hilangnya satu kelas tak akan terulang lagi. Ternyata, gertakan saya termakan juga. Padahal saya tak mungkin berhenti mengajar.
Setelah gertakan saya berhasil, tak ada lagi peristiwa mbolos secara bedol kelas. Paling satu dua anak yang hilang memilih kabur. Saya tak memaksakan bila siswa tak mau belajar . Saya lebih memilih anak menyukai pelajaran secara sukarela bukan paksaan mirip zaman kompeni.
Kemiskinan dan kebodohan seringkali jadi satu paket. Karena miskin maka seseorang tak memiliki akses pendidikan dan akhirnya tenggelam dalam kebodohan. Atau dibalik, karena tak mau memanfaatkan jalur pendidikan, menyia-nyiakan pendidikan sehingga akhirnya terjerembab dalam lembah kemiskinan.
Memang tak nyaman berbicara tentang kemiskinan. Isu yang seringkali diplintir untuk kepentingan pencitraan ketika pertarungan perebutan kekuasaan (baca: politik) . Orang orang miskin seperti dijejerkan didepan etalase lalu diiming imingi barang mewah (baca :harapan) yang sebenarnya tak sungguh sungguh mau diberikan.