Mohon tunggu...
Rushans Novaly
Rushans Novaly Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Relawan yang terus menata diri untuk lebih baik

Terus Belajar Memahami Kehidupan Sila berkunjung di @NovalyRushan

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kisah PR Matematika Anakku, Peran Guru yang Minimal

29 September 2014   06:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:07 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411921383828623279

[caption id="attachment_326144" align="aligncenter" width="479" caption="doc: pribadi"][/caption]

Setiap malam bila aku tak pergi tugas. Aku menemani putri bungsuku mengerjakan tugas PR dari sekolahnya. PR Matematika yang paling banyak ditanyakan putriku ini. Rupanya Matematika adalah pelajaran paling sakral di sekolah putriku ini. Dari sisi jumlah dari semua pelajaran . PR Matematika menempati rangking pertama.

Wah, pokoknya setiap malam pembahasan PR matematika menjadi langganan yang paling seru. Sang Guru nampaknya rajin sekali memberikan PR dalam jumlah banyak. Aku ingin protes sebenarnya. Terlalu banyak PR Matematika. Dari soal yang kulihat di buku paket dan buku latihan tugas nampaknya guru tak memberikan waktu yang cukup untuk berlatih di kelas. Entah karena jumlah jam belajar yang sangat terbatas. Hingga soal latihan lalu di ungsikan ke dalam PR yang dikerjakan di rumah.Lalu orangtua sibuk mengerjakan PR ,bila tak mampu maka diserahkan kepada anak yang lebih besar untuk mengerjakan (ingat kasus PR Habibi yang dikerjakan sang kakak). Bila didalam rumah itu tak ada yang mampu, maka dicarikan guru les matematika yang dibayar khusus agar si anak  dapat memecahkan soal matematika.

Bila orang tua si anak berkecukupan keuangannya. Bila tidak orang tua harus kreatif bagaimana memecahkan soal matematika agar si anak bisa memahami soal soal PR Matematika. Yang parah bila orang tua cuek atau terlampau sibuk bekerja sehingga tak punya waktu memantau soal PR matematika.

Matematika adalah pelajaran yang "menakutkan" sejak dahulu kala. Matematika jadi indikator kecerdasan dan kejeniusan. Itu saya rasakan sejak saya kanak kanak. Ayahandaku selalu mengajarkan Matematika setiap malam tak pernah bosan. Ia dengan sabar dan kadang juga tidak sabar mengajariku seluruh teknik dasar mengerjakan matematika. Rupanya sebagai guru senior di sekolahnya , ia sudah memahami trik dasar operasi matematika. Trik matematika yang tak pernah diajarkan disekolah. Trik matematika inilah yang membuatku seakan jago matematika dikelasku dulu.Walau PR Matematiku tak sebanyak putriku kini.

Ayahandaku memang terkenal keras bila sedang mengajar. Aku tak bisa mengikuti cara mengajar ayahandaku dulu kepada putri bungsuku ini. Zaman telah berubah, kekerasan tak cocok lagi. Maka dengan telaten aku terus mengajari putriku, walau aku tak sepandai ayahandaku yang mengetahui rahasia rahasia operasi matematika .

Dan sayangnya juga guru putriku ini  nampaknya tak selihai ayahandaku dalam mengajar matematika. dari metode mangajar dan kemampuan teknis ia terlihat sangat terbatas. Aku pun mencoba mencari tahu latar belakang pendidikan sang guru yang ternyata lulusan sebuah perguruan tinggi yang maaf ....abal abal. Yang ternyata hanya mengejar gelar kesarjaan semata tanpa kemampuan teknis mengajar.

Di daerahku yang jauh  dipinggiran kota besar. Perguruan tinggi macam ini sangat menjamur, lihat saja mereka bisa membuka kuliah tanpa harus mempunyai gedung kuliah. Perguruan tinggi ini biasanya menyewa pada Sekolah sekolah umum.

Mengenai ini aku mencoba berpura pura ingin kuliah (sedang dalam intestigasi kan boleh berpura pura). Si penyelengara kuliah memberikan kelonggaran yang sungguh menakjubkan, aku bisa langsung ikut semester 4 atau 6 . Tak perlu dari semester 1 . Tentu ada hitungan uang yang harus kubayar. Tentang Skripsi lebih hebat lagi , pihak penyelenggara memberikan bantuan mengerjakannya. Fulus yang diminta bisa jutaan. Pokoknya urusan kelar lebih cepat. Wisuda lebih cepat. Untuk gelar sarjana S1 cukup satu setengah tahun sampai dua tahun saja.

Aku menjadi miris dengan kualitas guru sekarang. walau saya tak mau men-genalisir.Karena masih ada guru yang berkualitas dan lulusan dari perguruan tinggi  berkualitas pula.Namun jumlah guru seperti itu jarang dan hanya mengajar di sekolah tertentu saja.

Negara perlu membuat regulasi dan standarisasi kemampuan teknis guru, Perlu ada tim independen yang melakukan pengujian kemampuan guru. Mengukur dan menganalisa sampai sejauh mana guru menguasai materi yang hendak ia akan ajarkan. Bila siswa saja di uji denagn soal Ujian Negara (UN) maka sang guru pantas juga di uji dengan soal UN khusus guru.Tentu Negara juga harus adil , agar gaji guru juga memenuhi standar hidup secara layak. karena selidik punya selidik sang guru putriku ini harus mengajar di dua sekolah berbeda. Siang hari ia mengajar SMP. Ia berkejaran waktu dan peluh agar hidupnya juga cukup, dan sayangnya muridnya menjadi korban. Sayang  memang ?

Salam Kompasiana

Adiyasa,28/09/14.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun