Inilah konsekwensi logis. Ada harga yang pantas untuk sebuah kualitas. Sekolah berstandar nasional dan internasional memang menjadi magnet bagi keluarga menengah atas. Bangunan megah yang biasanya terletak  ditengah perumahan mewah mencirikan sekolah yang punya gengsi.
Sekolah Pinggir Sawah
Bangunannya semi permanen. Hanya terbuat dari batu bata diplester. Warnanya sudah mulai kusam. Jendelanya tak berkaca, melompong sehingga angin bebas masuk. Pintunya sudah rusak sehingga tak bisa lagi dikunci. Tertiup angin saja, pintu langsung terbuka secara otomatis. Bukan karena ada sensor gerak .
Lapangan olahraga sekolah ini  luar biasa luas. Bukan cuma lapangan volly di depan sekolah namun kolam renang alami tak jauh dari sekolah yang memanjang hingga ratusan meter. Laboratorimnya juga selalu bisa digunakan kapan saja karena berupa sawah dan kebun nanas.
Guru gurunya juga keren dengan seragam yang unik. Kemeja lengan pendek dengan corak warna warni karena menambal bagian kemeja yang robek. Walau begitu soal semangat, guru gurunya tak kalah dengan guru dari sekolah Internasional. Datang tepat waktu dan pulang di akhir pelajaran.
Walau tak diawasi kamera pengintai CCTV, tak ada guru di sekolah ini yang tidur di dalam kelas karena memang tak memungkinkan karena kelas terlalu panas. Semua aktivitas belajar memang tak dilaporkan secara real time melalui gadget ke orang tua karena memang tak punya gadget.
Nah, soal biaya, sekolah ini mematok biaya super murah. Tak sampai seratus ribu rupiah. Sayangnya, banyak siswa yang menunggak hingga 3 bulan. Bahkan ada siswa yang sudah setahun tak lagi membayar karena sang bapak sedang sakit keras. Sekolah pinggir sawah ini memang bukan sekolah idola.
Jadi ketika tahun ajaran baru, tak banyak siswa baru yang mau mendaftar. Jadilah seluruh guru mencari siswa ke pelosok kampung. Menawarkan ke para petani miskin atau buruh kasar yang tak punya gaji tetap. Â
Lulusan sekolah pinggir sawah ini sudah banyak melanglang ke dunia internasional, sebagian sebagai pekerja migran alias TKI. Ada yang menjadi pekerja urban di Jakarta sebagai buruh kasar dan pekerja lepas di proyek banjir kanal.
Lalu Bagaimana Nasib Guru ?
Guru sekolah internasional memang lebih beruntung. Honor yang mereka terima jauh lebih besar ketimbang guru di sekolah pinggir sawah. Bila dihitung secara nominal rupiah yang diterima.