“Hidup harus disyukuri, sekecil apapun yang diberikan Tuhan terimalah dengan hati ikhlas. Karena yang sederhana bukan berarti Tuhan lupa dengan dengan kita. Tapi sejatinya Tuhan sedang meminta kita untuk terus bersyukur dan juga bersabar “
Saya tak akan pernah akan lupa petuah dari ayah saya ini. Kami duduk dilantai berlima. Didalam rumah kontrakan yang hanya berukuran 3 X 8 meter. Hanya ada tiga ruang yang tersedia. Ruang keluarga yang merangkap menjadi ruang tamu dan bila malam tiba juga berubah fungsi menjadi ruang tidur . Lalu ruang tengah yang lebih berfungsi sebagai ruang tidur ayah dan ibu lalu dapur sederhana dan kamar mandi .
Setiap setelah magrib kami dibiasakan untuk makan bersama. Duduk dilantai diruang keluarga . Makan malam akan segera dimulai. Jangan bayangkan jenis santapannya , karena sangat sederhana. Nasi putih , sambal, sayur dan lauk sederhana. Bagi kami santap malam adalah waktu terbaik yang kami miliki.
Ayah saya seorang guru sekolah dasar (SD). Sedang Ibu ,seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Ditangannyalah makan malam kami selalu ‘istimewa’. Hidangan makan malam kami selalu dimulai dengan kecerian dan juga keseruan. Uniknya kami tidak membuat aturan baku, siapa saja yang sudah lapar boleh mengambil makanan terlebih dahulu. Tidak mengikuti aturan yang tua lebih dahulu.
Jumlah makanannya memang sudah dihitung. Pas untuk lima orang. Keuntungannya, semua adil mendapat jatah tapi kelemahannya : tak bisa menambah lauk . Hanya nasi yang masih bisa ditambah. Saat itu selera makan saya dan adik adik saya sedang tinggi tingginya. Namanya juga anak dalam masa pertumbuhan. Ayah dan ibu biasanya mengalah untuk urusan makan. Dibiarkan kami makan sepuasnya.
Sambil makan biasanya ayah bercerita tentang masa lalunya. Kebiasaan menceritakan masa lalu sudah kami maklumi. Ayah seorang story teller yang berhasil untuk urusan masa lalu. Saat itu saya belum paham kenapa sering sekali ayah bercerita tentang masa kecilnya, masa sekolah hingga masa berkelananya yang ‘menyedihkan’ ketika pertama kali datang ke Jakarta (ayah berasal dari sebuah desa di pesisir Lampung barat) . Tapi menjelang dewasa baru saya mengerti, ayah ingin kami mengetahui sejarah masalalunya untuk saya belajar sebuah perjuangan, sebuah kerja keras yang pantang menyerah .
Selama makan malam percakapan sangat terbuka, saya dan adik biasanya bertanya lebih lanjut tentang cerita ayah. Kalau sudah begitu , acara makan malam memang jadi ajang kenangan masalalu yang seru. Kadang terdengar menyedihkan , nelangsa sekali. Ayah pernah bercerita ketika pertama kali bersekolah di Jakarta . Ia ketika itu tak mendapatkan uang jajan karena tinggal bersama kakaknya yang hidup terbatas. Padahal keinginannya untuk makan sangat tinggi. Karena terdesak, ayah nekat menjual buku pelajaranya ke tukang buku bekas untuk mendapatkan uang untuk sekedar mendapatkan uang jajan.
Alhasil, satu per satu buku pelajarannya habis terjual untuk sekadar mendapatkan uang jajan. Beruntung , ayah memiliki teman yang mau meminjamkan buku pelajaran. Tentu ceritanya ditutup dengan nasihat yang baik. Agar kami rajin belajar dan tidak mengikuti jejaknya menjual buku pelajaran. Cerita itu disampaikan ayah dengan ceria . Jadi, kami mendengarkan kisah sedih dengan suasana ceria. Memang agak aneh.
Selama makan malam , semua masalah keluarga menjadi bahan obrolan. Giliran ibu yang bicara, saya dan adik biasanya hanya pandang pandangan. “dosa” saya seharian akan dibeberkan ibu. Ya, karena saya termasuk anak yang agak nakal ketika itu. Saya paham Ibu bicara dalam kapasitas ibu yang menyayangi anaknya. Saya memang sering kali terlibat ‘insiden’ dengan teman sebaya. Biasanya berkelahi atau kenakalan khas anak anak lainnya.
Tapi selama makan malam bisa dipastikan tidak ada kemarahan. Ayah dan ibu nampaknya sudah membuat aturan tak tertulis untuk tidak memarahi anak anaknya selama makan malam berlangsung. Jadi, saya merasa makan malam adalah tempat yang pas untuk saling terbuka. Menceritakan berbagai masalah dan kegundahan hati. Hal hal sensitif juga dibicarakan ketika makan malam. Walau nyatanya, hal sensitif yang dimaksud lebih ke masalah hubungan personal anak dengan orangtua yang menginginkan anak anaknya tidak terjerumus ke masalah kenakalan anak yang serius. Karena kami ketika itu tinggal di kawasan padat penduduk yang memiliki problema sosial yang tinggi.
Bayangkan saja, disekitar kami ada rumah kontrakan yang dihuni wanita malam , penjual narkoba, penjudi, pemabuk yang tentu bisa punya efek negatif. Lingkungan yang tidak sehat itu membuat ayah dan ibu selalu mewanti wanti untuk bisa menjaga diri dan tidak terpengaruh. Santap malam menjadi tempat yang pas untuk mengingatkan bahaya pergaulan yang tidak sehat. Harus saya akui, santap malam yang biasa kami lakukan berhasil menjaga kami sekeluarga dari pengaruh buruk lingkungan.Saya harus bersyukur, saya dan adik adik tak pernah terlibat masalah sosial. Jangankan narkoba, merokok pun kami tidak. Kami sekeluarga memang anti rokok. Jadi , rokok saja menjadi musuh bersama dalam keluarga kami apalagi hal yang lain yang lebih berbahaya seperti minuman keras, narkoba dan sejenisnya.