Ibu saya meng-iming imingi akan membelikan celengan yang lebih besar. Saya tentu tergiur dan terpengaruh . celengan pun  dipecahkan, prakkk....celengan pecah. Anehnya, uangnya sangat banyak, didominasi uang kertas. Seingat saya , saya tak pernah menabung dengan uang kertas, saya selalu menabung dengan uang logam .itupun dengan jumlah nominal paling kecil.
Rupanya, diam diam ibu saya ikut menabung didalam celengan ayam jago saya. Pantas saja saya dilarang keras membawa celengan saya keluar rumah. Oh, itu rupanya alasannya. Baru saya tahu, ibu ikut menabung untuk menyiapkan uang menjelang lebaran. Jadi , uang baju lebaran saya sudah disiapkan ibu jauh jauh hari.
Saat itu, kami tak mengenal bank. Bagi keluarga kami menyimpan uang  alias menabung di dalam celengan. Baik yang terbuat dari tanah liat, bambu atau kotak kayu yang didesain khusus mirip kotak amal masjid tapi dalam ukuran yang lebih kecil.
Banyak juga yang menyimpan dibawah bantal, dibawah kasur atau dibawah lipatan baju didalam lemari. Bank ketika itu memang belum terjangkau, selain jumlah kantor cabangnya yang masih terbatas.Â
Mengenal Tabungan Nasional (Tabanas) di Kantor Pos
Di era pertengahan tahun 80-an, pemerintah mulai menggenjot sosialisai : Ayo Menabung. Uniknya, yang disasar ketika itu adalah pelajar. Saat itu disekolah juga mulai digalakkan untuk menabung. Yang punya gawe para guru kelas. Sebelum pelajaran dimulai siswa yang mau menabung maju kedepan kelas menyetor uang yang akan dicatatkan pada buku tabungan dan buku besar catatan si guru kelas.
 Saya pun  ikut menabung, jumlahnya tidak besar tapi diusahakan tiap hari menabung. Tujuannya hanya satu: untuk biaya diakhir tahun ajaran. Pelajaran menabung disaat itu berlanjut dengan menabung secara serius di kantor pos . Namanya sangat populer ketika itu : Tabanas.
Kenapa di kantor pos ? karena cuma kantor pos yang paling dekat. Saat itu fungsi kantor pos sangat dibutuhkan. Karena semua komunikasi masih terbatas, belum ada internet, jaringan telepon masih terbatas . aktifitas kantor pos cukup dominan. Mungkin karena itu pula menabung di lakukan di kantor pos.
Jarak rumah yang tak terlalu jauh membuat aktifitas menabung menjadi hal yang menyenangkan. Sepulang sekolah dengan bersepeda, saya membawa  buku tabungan dan uang yang jumlahnya juga tidak besar. Dulu petugasnya seorang bapak yang  cukup berumur, terlihat sabar melihat saya menabung. Saya masih ingat dengan jelas, setelah uang diterima lalu dicatat, disisi kanan buku tabungan akan dicap dengan alat stempel yang akan berbunyi keras ketika dipukulkan di buku tabungan.
Motivasi saya menabung saat itu ingin membeli  sepeda baru, tapi karena jumlahnya sedikit saya malah jadi tidak PD. Perlu bertahun tahun agar tabungan saya bisa mencapai jumlah yang cukup untuk membeli sepeda baru. Sedangkan saya, bila uang sudah cukup besar biasanya saya ambil untuk membeli burung merpati, kegemaran saya . Ya, kapan terkumpulnya. Beruntung, ketika saya kelas lima SD keinginan saya memiliki sepeda tercapai .  Ayah menambahkan uang untuk membeli sepeda bekas. Tabungan saya di kantor pos ketika dikuras habis berjumlah  Rp  2.200. Sementara harga sepeda bekas ketika itu Rp 18.000. Jadi berapa uang yang harus ayah saya tambahkan ?