Ketika kanak kanak, ada satu kebiasaan yang sebenarnya tidak diajarkan secara khusus oleh orangtua saya namun jadi kebiasaan. Awalnya, saya hanya tertarik dengan bentuk celengan ayam jago yang terbuat dari tanah liat.
Penjualnya seorang lelaki yang kemana mana memikul barang dagangan menggunakan dua kerangjang besar yang terbuat dari ayaman bambu ,isinya beragam gerabah dari tanah liat. Nampak berat, berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya. Saat itu awal tahun 80-an, Kemayoran (Jakarta ) masih serupa kampung. Lahan terbuka masih ada, jalan jalan sebagian masih bebatuan. Terutama di wilayah agak kedalam.
Karena minat saya yang besar memiliki celengan ayam jago, saya merengek minta dibelikan. Ibu saya akhirnya membelikan dua celengan. Satu untuk saya dan yang satu untuk adik saya. Agar adil dan tidak terjadi perang saudara di dalam rumah. Maklum anak anak.
Saya tentu senang sekali, celengan ayam jago yang saya miliki berwarna merah dengan ornamen emas pada sisi sisinya. Walau tak mirip benar dengan ayam jago sungguhan, saya menyimpannya diatas lemari pakaian. Saat itu saya berharap celengan ayam jago itu akan berkokok ketika pagi hari membangunkan saya.
Setelah memiliki celengan ayam jago, saya melihat ada lubang kecil yang berada tepat disamping badan celengan. Kata ibu saya, itu tempat memasukkan uang. “Nanti pas lebaran, celengannya dipecahkan, uangnya dibelikan baju lebaran”. Titah ibu saya ketika itu.
Saya langsung meradang, masa harus memecahkan celengan ayam jago. Pokoknya tidak ada yang boleh memecahkan celengan ayam jago saya. Titik. Berani memecahkan, saya akan marah.
Tapi dasar anak anak ketika itu, saya rajin menyelipkan uang logam kedalam celengan. Jujur saja saya tak mengerti kalau kegiatan menyimpan uang didalam celengan ayam jago adalah proses belajar menabung. Kalau ada uang lebih, saya langsung memanjat lemari pakaian lalu mengambil celengan. Plung....satu uang logam kumal masuk dengan sempurna.
Kegiatan menabung didalam celengan memang ‘hangat hangat tahi ayam’, awalnya sih rajin setelah berjalan beberapa minggu saya mulai lupa untuk menabung. Ketika itu , saya sedang gemar mengadu jangkrik, setiap pulang sekolah kegiatan saya mencari lawan untuk mengadu jangkrik. Jangkriknya saya beli dengan uang jajan.
Tak jarang adu jangkrik berubah menjadi adu jotos karena salah satu pihak tidak terima jangkrik kesayangannya kalah. Perkelahianpun terjadi, saya paling kesal bila harus berkelahi gara gara jangkrik. Maka saya putuskan saya tak mau lagi mengadu jangkrik. krik...krik...
Sayapun kembali mengisi celengan dengan uang jajan saya. Oh ya, saya sebenarnya agak ‘pintar’ didalam kelas,dengan ‘kepintaran’ itulah saya mencari tambahan uang dengan cara memberikan contekan kepada beberapa teman. Syaratnya , si-teman ini harus membayar bila mau dapat contekan. Maka, jadilah saya pemberi contekan berbayar. Uangnya sebagian saya tabung , sebagian saya pakai untuk beli layangan. Lucunya, ada saja teman yang mau saya ‘kerjai’. Saya masih ingat nama nama mereka hingga saat ini. Mohon ini tidak ditiru, ya.
Menjelang lebaran, sesuai perintah ibu saya, celengan ayam jago harus dibuka alias dipecahkan. Kata ibu, uangnya untuk membeli baju lebaran. Saya akhirnya memecahkan celengan tapi dengan syarat: saya dibelikan lagi celengan serupa .