Jangan tanya penghasilannya sebulan, masih kalau jauh dengan harga sepasang sepatu anak si artis. Untuk menyambung hidup, petani ini harus menyambi sebagai tukang bangunan bila ada yang membutuhkan. Sepatu anaknya hanya sepasang, itu pun sudah mulai mengelupas. Kendaraan si petani hanya sebuah sepeda motor butut yang knalpotnya mengeluarkan asap putih tanda mesin sepeda motor mulai mengalami kerusakan. Beda sekali dengan sedan mewah berwarna putih mengkilat yang harganya ribuan kali lipat dari sepeda motor si petani.
Kehidupan bangsa ini belumlah sesejahtera bangsa maju seperti Amerika Serikat. Janganlah aksi pamer mirip artis Hollywood dibawa ke negeri ini, Budaya Red Carpet belum cocok di negara yang secara pendapatan domestik bruto masih kalah jauh dari negara negara tetangga seperti Singapura, Malaysia atau Brunei apalagi dengan negeri Paman Sam.
Tayangan-tayangan pamer kekayaan, jalan-jalan keluar negeri seolah-olah tak ada lagi tujuan wisata yang menarik di dalam negeri sendiri. Padahal saat ini pemerintah sedang menggenjot kunjungan 20 juta wisatawan asing. Eh, malah warga negaranya bangga bila sudah jalan-jalan ke luar negeri, ke mana sikap nasionalis? Ke mana rasa cinta Tanah Air? Omong kosong.
Para pesohor negeri ini malah berlomba-lomba pamer jalan-jalan ke luar negeri. Borong belanjaan dari produk luar negeri. Bangga bila mengenakan merek asing yang harganya selangit. Mana revolusi mental?
Padahal ketika membeli produk dalam negeri, berapa rupiah yang dapat dinikmati saudara sebangsa, berapa rupiah yang dapat menghidupkan perekonomian lokal. Dengan mengunjungi tujuan wisata dalam negeri, berapa uang yang dinikmati anak bangsa sendiri. Dengan uang itu berapa anak yang bisa melanjutkan sekolah, berapa bayi yang akan mendapatkan gizi yang layak.
Jangan menjadi bebal terhadap situasi bangsa sendiri. Masih banyak hal yang harus dibereskan di negeri ini. Belum selayaknya, memamerkan kekayaaan di depan bangsa ini. Untuk motif apa? Memberikan pencerahan? Memotivasi orang? Atau hanya sekedar lucu-lucuan yang tidak jelas?
Tayangan TV yang Membodohi
Anehnya, produser TV yang menghasilkan tayangan di media massa elektonik seperti abai terhadap kualitas konten. Tak peduli apakah tayangan punya manfaat positif bagi penonton, tak peduli apakah tayangan malah bisa membuat perilaku aneh bagi penontonnya. Baru saja KPI mempertegas aturan penayangan peran laki-laki yang menyerupai perempuan atau sebaliknya . Apakah perlu juga aturan untuk mengeliminasi tayangan pamer kekayaan, tayangan glamour artis atau tayangan tidak mendidik lainnya. Bukankah akan terlalu banyak aturan? Gunakan perasaan dan hati nurani.
Media televisi adalah tayangan yang gelombangnya dimiliki secara terbatas dan berizin. Ada aturan, ada kemanfaatan. Sayang rasanya bila gelombang TV hanya berisi tayangan yang membodohi penontonnya. Hanya berisi acara ha ha hi hi yang mengejar rating semata dan slot iklan yang menguntungkan pemilik TV.
Ingat, TV bisa diakses siapa saja. Berbeda dengan internet yang harus memiliki perangkat dan membeli layanan penyedia jaringan. Kontrol tayangan pertama kali harus dari produser TV lalu pihak KPI dan selanjutnya peran aktif orang tua yang mengawasi waktu dan jenis tayangan.
Alangkah bijaknya bila para pemilik TV memiliki kepedulian, empati bagi bangsa ini. Dengan tidak menayangkan konten yang tidak bermanfaat, konten yang membuat penonton terbuai oleh hiburan semata yang akan menumpulkan rasa sosial terhadap masalah sekitarnya. Selain itu, pekerja di sekitaran media TV, seperti host, bintang tamu, koordinator penonton atau apa pun bidang tugasnya seharusnya sadar dampak TV itu kadang tersembunyi dan terakumulasi, baru meledak pada waktu yang akan datang.