Guru melek literasi ? Bukankah guru identik dengan dunia literasi ? Lalu, apa juga itu literasi ?
Secara bahasa, literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dalam bahasa Inggris, literacy artinya kemampuan membaca dan menulis (the ability to read and write) dan kompetensi atau pengetahuan di bidang khusus (competence or knowledge in a specified area). Guru merupakan salah satu profesi yang tidak bisa lepas dari literasi.
Kenapa guru mesti melek literasi ? Apa memang guru belum melek literasi ?
Don’t stop learning! Jangan berhenti belajar. Ungkapan tersebut sering kali dialamatkan bagi kalangan guru-guru. Profesi yang satu ini haram hukumnya jika sampai berhenti belajar karena mereka sering mengajar. Apa jadinya jika seorang guru malas atau bahkan berhenti belajar, ilmu yang disampaikan kepada anak didiknya dipastikan tidak berkualitas, untuk tidak dikatakan banyak bolong dan bohongnya. Maka jika guru sudah malas belajar, guru tersebut harus bersiap meninggalkan pekerjaannya.
Di berbagai negara maju, menulis telah menjadi gaya hidup masyarakatnya. Aktivitas menulis biasanya berbanding lurus dengan aktivitas membaca. Dengan kata lain, budaya literasi masyarakatnya sudah tinggi. Menurut Haryanti (2014) literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca, sedangkan budaya literasi adalah kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan membaca dan menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut belum ada atau belum terbentuk.
Menurut data statistik UNESCO 2012, menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Apa artinya ini semua ? Artinya budaya baca dan menulis orang Indonesia masih rendah.Â
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Ikatan Guru Indonesia (IGI) kota Surakarta yang bekerjasama dengan Harian Joglosemar dan  Perpustakaan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, mengadakan Pelatihan Menulis Artikel Ilmiah Populer dan Opini Media Massa dengan tema "Menggerakkan Budaya Literasi Melalui Artikel Ilmiah Populer". Acara yang dihelat pada hari kamis (25/5/2017) di SMP Negeri 24 Surakarta ini bertujuan untuk membangkitkan budaya literasi di kalangan guru karena guru seharusnya harus mampu menjadi contoh dan pelopor gerakan sadar literasi, memiliki minat yang tinggi terhadap membaca dan menulis. Dan tentunya, memiliki karya tulis sebagai hasil buah pikirnya. Hal tersebut sebagai sebuah kebanggan, juga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi rekan sejawat dan para siswanya untuk melakukan hal serupa. Dengan kata lain, membaca dan menulis adalah modal utama sekaligus kompetensi seorang guru.
Tampil sebagai pembicara pada kegiatan yang baru diadakan pertama kali oleh IGI kota Surakarta tersebut antara lain Johan Wahyudi, M.Pd, kolumnis, penulis buku tingkat nasional tingkat nasional yang juga seorang guru, Dr. M. Rohmadi, M.Hum, kepala UPT Perpustakaan UNS, dan Suhamdani, Pemimpin Redaksi Koran Joglosemar. Johan Wahyudi menyampaikan materi tentang Teknik Menulis Artikel. Guru bahasa Indonesia SMP Negeri Kalijambe Sragen ini, memaparkan seputar teknik penulisan judul, mengembangkan ide/gagasan, dan mengirimkan naskah ke media massa. Dipaparkan oleh Johan Wahyudi, menulis adalah ruhnya seorang guru jadi sangat aneh ketika seorang guru belum pernah menulis. Apalagi sebagai seorang guru, mereka akan melalui proses kenaikan pangkat yang salah satunya ada unsur pengembangan diri. Menulis artikel termasuk salah satu unsur pengembangan diri tersebut. Namun, masalah yang selalu dihadapi oleh guru dalam menulis adalah bagaimana memulainya ?
Suhamdani sebagai pembicara terakhir menyampaikan tentang Etika Berkomunikasi dengan Media Massa. Sebagai salah satu pemimpin redaksi Koran Joglosemar, dipaparkan tentang Etika Jurnalistik, Mengenal Redaksi Media Massa, dan Mengenal Desk Opini. Karena semua peserta pelatihan adalah guru, Suhamdani mengharapkan setelah pelatihan hari ini mulai mengirimkan tulisan ke koran Joglosemar. Kaidah-kaidah penulisan artikel di koran Joglosemar mesti diikuti, misalnya tulisan berjumlah 4000 karakter, tulisan harus up to date, ada solusi yang diberikan dan mampu memengaruhi orang lain. Bagaimana jika ternyata tulisan kita belum dimuat ? Ada mekanisme yang berlaku di surat kabar, yaitu menunggu konfirmasi dari pihak surat kabar kurang lebih 2 minggu, jika dalam waktu itu tidak dimuat juga, penulis bisa mengirimkan ke surat kabar lain. Namun penulis memiliki hak untuk menanyakan kepada redaksi mengapa tulisannya tidak dimuat. Prinsipnya, menurut Suhamdani, mulainya berproses menulis dengan sebaik-baiknya. Jikalau ternyata belum dimuat janganlah berkecil hati atau bahkan ngambek tidak menulis lagi. Justru itulah menjadi ujian apakah kita menulis hanya sekedar agar tulisan kita dimuat dan dapat honor ataukah kita ingin mengembangkan eksistensi diri kita ?