Oleh :
Rusdianto Sudirman, SH, MH.
Berjalannya suatu Negara pasti tak lepas dari sebuah sistem politik. Karena kemajuan suatu Negara dapat diukur dari sistem politik yang dijalankan para pemangku kekuasaan. Dalam suatu sistem politik terdapat berbagai unsur, dan salah satu unsur tersebut adalah partai politik. Partai politik dalam hubungannya dengan sistem sosial politik ini memainkan berbagai fungsi, salah satunya pada fungsi input, dimana partai politik menjadi sarana sosialisasi politik, komunikasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik.
Di Indonesia sendiri keberadaan partai politik sangatlah strategis, bahkan partai politik bisa saja menjadi penentu arah kebijakan dalam pemerintahan itu sendiri. Jika kita melihat defenisi partai politik pada Pasal 1 UU No.2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Frasa “memperjuangkandan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara” sudah menjadi tujuan utama setiap partai politik jika berhasil meraih kekuasaan. Dengan kata lain tujuan utama terbentuknya partai politik adalah untuk meraih kekuasaan.
Untuk itu jika ingin membangun sistem pemerintahan yang kuat dan stabil,harus dimulai dari pembenahan internal partai politik, dengan demikian maka setiap partai politik harus bisa menciptakan kesamaan kehendak dan cita-cita bersama untuk menyusun suatu konsep kenegaraan yang bermuara pada terwujudnya kesejahteraan rakyat. Konsep kenegaraan itulah yang harus disosialisasikan dan dikomunikasikansetiap partai politik kepada masyarakat dalam pemilihan umum dan secara tidak langsung rakyat sebagai pemegang kedaulatan akan bisa memilih partai politik mana yang bisa memperjuangkan kepentingan mereka.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia peranan partai politik sangat strategis dalam pemerintahan, karena secara konstitusional hanya partai politik yang dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6 A ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum dilaksanakan pemilihan umum”. Kemudian dalam pengisian jabatan di legislatif juga diatur secara eksplisit bahwa hanya partai politiklah yang dapat mengisi jabatan anggota DPR dan DPRD. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah adalah partai politik.” sehingga sejatinya jika Presiden terpilih dan anggota DPR terpilih berasal dari partai politik yang sama, atau setidaknya berasal dari koalisi partai politik yang mempunyai ideologi yang sama, maka seharusnya pemerintahan dapat berjalan secara baik dan lancar tanpa adanya kegaduhan politik.
Kondisi yang terjadi dalam sistem politik Indonesia saat ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang telah penulis gambarkan diatas. Dimulai dari awal reformasi sampai masa pemerintahan SBY, dan kini di era pemerintahan Jokowi, kegaduhan politik masih saja terjadi. Bahkan di awal pemerintahan Jokowi- JK masyarakat dipertontonkan drama politik Koalisi Merah Putih (KMP) dam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang saling berebut kekuasaan di DPR, mulai dari pemilihan ketua DPR, MPR, dan DPD. Kemudian berlanjut dengan dengan perebutan posisi di alat kelengkapan DPR sehingga memicu dibentuknya DPR tandingan oleh KIH.
Kegaduhan politik ternyata juga menular kedalam internal partai politik, hal itu dapat kita lihat dari terbelahnya kepengurusan partai politik ditingkat pusat, seperti yang terjadi pada partai PPP kubu Romi dan kubu Djan Faridz, Golkar Ada Kubu Ical dan Kubu Agung Laksono, dan terakhir PAN Kubu Hatta dan Kubu Zulkifli Hasan. Konflik internal yang terjadi dalam tubuh partai politk diatas sebenarnya sudah bertentangan dengan hakikat partai politik yang penulis kemukakan diatas, bahwa dalam partai politik harus ada kesamaan kehendak dan cita-cita bersama yang dimiliki oleh para kader atau anggotanya untuk menyusun suatu konsep kenegaraan yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Jika itu tidak bisa terpecahkan, bagaimana mungkin partai politik dapat merumuskan suatu konsep kenegaraan yang baik dan benar jika dalam tubuh internal partai politik itu sendiri belum bisa terjadi adanya kesamaan kehendak dan cita-cita bersama.
Oleh karena itu, penulis berpendapat perlu adanya restukturisasi kelembagaan partai politik agar partai politik secara moral absah untuk hidup dalam sistem demokrasi dalam tataran bernegara, maka iklim dan sistem demokrasi internal partai politik juga harus ditumbuhkan dengan paksaan undang-undang. Harus ada pengaturan mengenai pembatasan terhadap orang yang mempunyai pertalian darah untuk duduk dalam kepengurusan pada periode yang sama dan di tingkatan kepengurusan yang sama. Untuk menjamin kaderisasi dan pembinaan kader untuk regenerasi kepemimpinan partai politik, sebaiknya ada pengaturan mengenai persyaratan menjadi pengurus pada tingkat atas pengalaman minimal 5 tahun sebagai pengurus pada tingkat bawahan. Jika struktur kepengurusan partai politik terdiri atas 4 tingkat, maka seorang calon Ketua Umum dipersyaratkan minimal sudah 20 tahun menjadi pengurus partai politik yang bersangkutan. Dengan demikian pembinaan partai politik dalam jangka panjang akan tumbuh dan berkembang secara sehat, terhindar dari ‘kutu- loncat’ yang menumbuhsuburkan budaya politik transaksional dan pragmatis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H