Mohon tunggu...
Rusdianto Sudirman
Rusdianto Sudirman Mohon Tunggu... -

mahasiswa Program Magister Hukum Pasca Sarjana Universitas Muslim Indonesia Makassar

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Implikasi Hukum Perppu tentang Pilkada

13 Oktober 2014   22:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:10 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah PresidenSBY mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2014 yang membatalkan UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pilkada maka masyarakat kini sudah bisa sedikit bernafas lega karenatelah mendapatkan kembali hak pilihnya untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota. Hal ini membuat presiden SBY merasa berwenang mengeluarkan perppu karena banyak pihak menolak UU Pilkada karena merasa dirampas hak politiknya untuk memilih kepala daerah. Bukan hanya itu, Pilkada melalui DPRD juga dianggap membatasi figur-figur dari kalangan professional atau non partai untuk maju sebagai kepala daerah. Oleh karena itu dengan banyaknya penolakan terhadap UU Pilkada maka presiden memandang perlu mengeluarkan perppu.

Dengan adanya Perppu ini maka ada beberapa akibat hukum yang bisa ditimbulkan, sesuai amanatPasal 22 Ayat 1UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Akan tetapi ayat 2 menegaskan “Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan selanjutnya”. Melihat komposisi DPR sekarang ini kecil kemungkinan Perppu tersebut akan diterima dan disetujui, mengingat mayoritas dukungan Pilkada lewat DPRD yang dimotori koalisi merah putih (KMP). Sehingga apabila DPR tidak menyetujui Perppu tersebut maka UU Pilkada tetap mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dengan begitu Uji materi (Judicial Review) terhadap UU Pilkada yang ajukan ke Mahkamah Konstitusi akan tetap berlanjut. Namun yang perlu di ingat bahwa Mahkamah Konstitusi Melalui Putusan MK No.97/PUU-XI/2013 telah menganggap Pilkada oleh DPRD adalah demokratis. Dalam pertimbangan hukum MK menyatakan “Pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 akan tetapi diatur secara khusus dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, "Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis." Menurut Mahkamah, makna frasa "dipilih secara demokratis", baik menurut original intent maupun dalam berbagai putusan Mahkamah sebelumnya dapat dilakukan baik pemilihan secara langsung oleh rakyat maupun oleh DPRD”.

Atas dasar itu penulis berpendapat kalaupun UU Pilkada di Judicial Review di Mahkamah Konstitusi maka kecil kemungkinan untuk diterima karena sudah ada putusan MK terdahulu yang bersifat final dan mengikat. Kecuali pendapat MK kembali berubah seperti yang pernah terjadi sebelumnya di zaman Mahfud MD sebagai ketua MK Pilkada disepakati masuk dalam bagian rezim pemilu, namun setelah Akil Mochtar ditangkap KPK Pendapat MK berubah dengan berpendapat Pilkada bukanlah rezim pemilu sehingga MK tidak lagi berwenang untuk megadili sengketa hasil pemilihan kepala daerah sebagaimana di atur dalam Pasal 24C UUD NRI 1945.

Menurut penulis, justru akan lebih besar potensi kekosongan hukum terkait pilkada jika Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945. Pasalnya UU No.32 Tahun 2004 junto UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintah yang sebelumnya menjadi dasar hukum pelaksanaan pilkada sudah tidak dapat dijadikan acuan lagi mengingat pemerintah dan DPR juga telah mengesahkan UU Pemerintahan Daerah yang baru. Sehingga apabila UU Pilkada di batalkan oleh MK maka dasar pelaksanaan Pilkada mengalami kevakuman atau kekosongan hukum. Dengan begitu dampaknya akan berpengaruh terhadappemerintahan daerah. Semoga saja Mahkamah Konstitusi dapat memberikan jalan keluarnya.

Penulis menilai, adanya UU Pilkada ini sebenarnya lahir melalui proses pertarungan kepentingan 2 poros politik yang ingin berkuasa, yaitu kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan kubu Koalisi Indonesia Hebat Jokowi-JK. Bisa dibayangkan jika Jokowi sebagai Presiden RI sebagai pemerintah pusat dan kebanyakan Kepala daerah yang terpilih dalam pilkada melakui DPRD dari kubu koalisi merah putih (Prabowo cs), maka akan terjadi tumpang tindih dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, karena tidak adanya sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kondisi seperti ini tentunya akan mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga proses mewujudkan kesejahteraan rakyat pun terbengkalai.

MenurutPenulis, pelaksanaan Pilkada oleh DPRD ini semakin membuat kacau sistem pemerintahan yang Indonesia anut, sebagai Negara kesatuan yang berbentuk republik seharusnya ada keseragaman sistem pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika di tingkat pusat sistem pemerintahan yang anut adalah sistem presidensial dimana Presiden dipilih langsung oleh rakyat, maka di daerah pun harus berlaku sistem yang sama. Akan menjadi sangat rancu jika pemerintah pusat memakai sistem presidensial, sedangkan pemerintah daerah menganut sistem parlementer, yang ditandai dengan pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota oleh DPRD (parlemen). Dalam UU No.6 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Desa pun juga masih menganut pemilihan kepala desa secara langsung. Adanya kerancuan sistem pemerintahan yang dianut ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi pemerintahan kedepan agar dapat memperbaiki dan mempertegas sistem pemerintahan yang ingin di anut Indonesia.

Dengan lahirnya UU Pilkada, sesungguhnya esensi yang ingin dicapai yaitu perwujudan sistem otonomi daerah yang good governance dan clean governance. Masyarakat jangan terjebak dalam perdebatan terkait pelaksanaan Pilkada lansung ataupun melalui DPRD, karena pilkada langsung ataupun melalui DPRD hanyalah masalah mekanisme pemilihan kepala daerah. Dan mekanisme pemilihan tersebutmasing-masing mempunyai manfaat dan moderatnya. Partisipasi masyarakat jangan hanya diukur melalui hak untuk memilih dalam pemilihan langsung, akan tetapi peran serta masyarakat dalam pemerintahan juga dapat berupa adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan maupun dengan melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

(Tulisan ini juga dimuat di harian KENDARI POS edisi Senin, 13 oktober 2014)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun