Pendidikan dan kekuasaan memiliki hubungan yang erat, di mana pendidikan seringkali menjadi alat untuk mempertahankan atau menantang struktur kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini, pendidikan bukan hanya sekadar proses transfer pengetahuan, melainkan juga mencerminkan nilai, norma, dan ideologi yang berlaku dalam suatu sistem sosial. Teori kritis, yang dikembangkan oleh tokoh seperti Paulo Freire, berpendapat bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai alat pembebasan atau sebagai instrumen dominasi, tergantung pada siapa yang mengontrol sistem pendidikan dan bagaimana pendidikan itu dirancang.
Pendidikan, dalam banyak kasus, berperan dalam memproduksi dan mereproduksi kekuasaan. Misalnya, kurikulum pendidikan sering kali disusun oleh kelompok-kelompok elit yang berkuasa, yang memiliki kepentingan untuk menjaga status quo. Hal ini tercermin dalam pemilihan materi ajar, ideologi yang diteruskan, dan bahkan dalam cara penilaian dilakukan. Melalui kurikulum yang telah dipilih, sistem pendidikan tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai yang dapat memperkuat struktur sosial yang ada, seringkali mengabaikan suara atau perspektif yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Bourdieu dan Passeron (1977) menunjukkan bahwa sistem pendidikan berfungsi sebagai mekanisme reproduksi sosial, di mana kelas-kelas sosial yang lebih tinggi cenderung memiliki akses lebih besar terhadap pendidikan berkualitas, sementara kelompok-kelompok miskin atau marginal justru lebih terpinggirkan. Dengan demikian, pendidikan seringkali memperkuat stratifikasi sosial dan mendukung dominasi kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat.
Namun, pendidikan juga memiliki potensi untuk menantang kekuasaan yang ada. Dalam sejarahnya, gerakan-gerakan pendidikan seperti gerakan pendidikan untuk perempuan, pendidikan bagi kelompok minoritas, atau pendidikan untuk kelas pekerja, telah berfungsi sebagai alat untuk membongkar ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Misalnya, pendidikan perempuan pada awal abad ke-20 di banyak negara berkembang menjadi salah satu sarana untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mengubah struktur kekuasaan yang patriarkal.
Selain itu, pendidikan juga dapat memperkuat kesadaran politik dan sosial individu. Berdasarkan penelitian oleh John Dewey, pendidikan yang berbasis pada demokrasi dan partisipasi aktif dapat memberikan ruang bagi individu untuk mengkritisi dan menantang berbagai bentuk kekuasaan yang tidak adil. Dengan pendekatan pendidikan yang kritis, individu tidak hanya menjadi penerima informasi, tetapi juga agen perubahan yang dapat berperan dalam masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sosial.
Data yang diperoleh dari survei yang dilakukan oleh UNESCO pada tahun 2018 mengungkapkan bahwa negara-negara dengan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan berfokus pada pengembangan kritis cenderung memiliki tingkat ketidaksetaraan sosial yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat menjadi alat untuk mengurangi ketimpangan sosial dan mendukung distribusi kekuasaan yang lebih adil dalam masyarakat.
Secara keseluruhan, relasi antara pendidikan dan kekuasaan bersifat kompleks dan berlapis-lapis. Pendidikan memiliki kekuatan untuk memperkuat atau mengubah struktur kekuasaan, tergantung pada bagaimana sistem pendidikan itu diorganisir dan siapa yang mengontrolnya. Oleh karena itu, penting bagi para pembuat kebijakan pendidikan untuk memahami bahwa pendidikan bukan hanya tentang menyiapkan individu untuk dunia kerja, tetapi juga tentang membentuk karakter, nilai, dan kekuatan sosial yang dapat berdampak langsung pada cara kekuasaan dipraktikkan dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H