Pelukis dan sastrawan Danarto yang sakit sejak Senin, Rabu kemarin dipindahkan ke RS Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta. Jantungnya dioperasi. “Halo Rusdi. Jika semuanya musnah, kita jadi makhluk terakhir.” oleh Rusdi Mathari MAS Danarto akhirnya mau naik ambulans. Dia terbaring tak berdaya dan membiarkan dirinya telentang di dalam mobil bercat abu-abu itu. Seorang anak muda, tetangga rumahnya ikut menemaninya di dalam mobil, membawa satu ransel dan beberapa kantong plastik kresek berisi baju-baju Mas Danarto. Brak. Pintu belakang ambulans ditutup.
Lampu biru-merah di atap mobil silih berganti menyala. Segera ambulans meninggalkan halaman belakang RS Bhinneka Bhakti Husada, Pamulang, Tangerang. Membelah kesumpekan jalan Pondok Cabe, Cirendeu hingga Pasar Jumat, terus masuk ke tol Pondok Indah. Tanpa sirene. Rabu siang, kemarin, Ratna Riantiarno dan Fien Hermini dan beberapa perempuan lain, tampak berkumpul di Kamar 41 Asy-Syifa tempat Mas Danarto dirawat.
Kamar itu terletak di lantai dua. Di koridor di depan kamar, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, Arswendy dan beberapa seniman lainnya terlihat asyik meriung. Mas Danarto ada di kamar mandi. Agak lama. “Coba diketuk, jangan-jangan dia tertidur,” kata seseorang. “Ndak saya belum selesai,” suara Mas Danarto menyahut dari dalam kamar mandi. Semua yang mendengar tertawa. Keluar dari kamar mandi, Mas Danarto saya lihat mengenakan celana kolor biru laut dan kaus putih. Di punggung tangan kanannya terlihat balutan tempat jarum infus disuntikkan.
Dia tersenyum. Saya mencium tangannya lalu mengenalkan teman saya Ezra Sihite. “Nyonya?” tanya Mas Danarto. Lirikan mata dan senyumannya nakal. “Bukan. Teman. Wartawan,” jawab saya. Saya tahu Mas Danarto menggoda karena dia sebetulnya tahu istri saya. Ketika kali pertama bertemu dengan Fauziah Mathari, istri saya, di sebuah restoran Arab di Raden Saleh, Cikini, Mas Danarto bahkan memeluk istri saya dan mengenalkan kepada teman-temannya yang sedang asyik bersantap sebagai anaknya. “Ini anak saya yang cantik,” kata dia. Saya tertawa.
Wajah istri saya memerah. Mas Danarto lalu duduk di tepi ranjang. Dia kelihatan seperti orang bingung. Mbak Fien yang membawa kertas berisi tagihan perawatan mendekati Mas Danarto. “Ini biayanya 2,9 juta rupiah, termasuk ongkos membayar ambulans,” kata Mbak Fien. Dia menyerahkan berkas dan segepok uang ke seseorang berseragam. Siapa dia, entahlah. Mbak Ratna duduk di kursi memperhatikan.
“Untuk apa ambulans. Mas Danarto akan dibawa pulang?” saya bertanya ke Mbak Ratna. “Ndak, kita mau pindahkan ke RS Harapan Kita, karena jantung dia ternyata juga ada gangguan selain asma dan kaki bengkak,” kata Mbak Ratna. Kerongkongan saya tercekat. Mata saya tertuju ke kaki Mas Danarto yang menghitam. Tampaknya memang sedikit bengkak. “Saya sudah makan tokek loh Rus,” katanya kepada saya sambil tertawa. “Sudah coba makan hati unta belum?” saya menyahut. “Tokek juga bagus untuk asma kok,” kata Mbak Ratna. “Tolong gordennya ditutup dulu, saya mau ganti baju,” kata Mas Danarto.
“Enggak perlu mas, di sana nanti ada baju seragam rumah sakit,” sahut Mbak Fien. Tapi Mas Danarto tetap mengganti kaus putihnya dengan kemeja kembang-kembang berwarna ungu. Anak muda, tetangga rumahnya sibuk mengepak baju-baju Mas Danarto. Dimasukkan ke beberapa kantong kresek. “Coba lihat Mbak Ratna, zaman sekarang masih saja ada orang masuk rumah sakit dan membawa bantal dari rumah,” kata saya. Mbak Ratna tertawa. Mas Danarto juga. “Tetep ndeso ya,” kata dia.
Mi Instans Keluar dari kamar saya bergabung dengan Mas Nano, Mas Putu dan Mas Arswendy dan beberapa seniman yang lain. “Mas Danarto mau dipindah, mas?” saya bertanya ke Mas Nano. “Iya. Sejak pagi kami meyakinkan dia agar pindah dan mau diangkut dengan ambulans. Dan dia baru mau, siang ini,” jawab Mas Nano. Mas Nano lalu bercerita, Mas Danarto paling takut naik ambulans. Dia menganggap ambulans mobilnya orang mati, kendaraan pengangkut jenazah. “Lah wong dia, sudah menulis soal langit ketujuh, mosoktakut naik ambulans,” kata Mas Nano.
Tawa pun meledak di koridor. Saya tahu Mas Danarto menyukai hal-hal, yang bagi orang lain dianggap tidak masuk akal. Setidaknya itu saya tahu dari cerpen-cerpen dan tulisan-tulisannya. Salah satu cerpennya, Jejak Tanah dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompastahun 2002. Cerpen itu bercerita tentang ketamakan seorang manusia mengumpulkan harta (tanah) dengan segala cara dan ketika meninggal orang itu tidak diterima tanah. Suatu hari, dia mengirimi saya surat lewat jasa pos berprangko Rp 2.500. Di amplop bagian depan tertulis “Kepada yang Budiman, Adikku Rusdi Mathari” dan alamat kantor saya.
Di belakangnya tertulis nama Mas Danarto beralamat di Kedaung Hijau Blok H19, Ciputat, Tangerang Selatan. Amplopnya cukup tebal. Semula saya menduga, Mas Danarto menulis surat panjang untuk saya. Tapi saya keliru. Ketika saya buka, di dalam amplop hanya berisi selembar foto copy kliping artikel di Kompas tertanggal 26 November 2008 berjudul “Isu Kiamat Tahun 2012 yang Meresahkan.” Di atasnya ada tulisan tangannya: “Halo Rusdi. Jika semuanya musnah, kita jadi makhluk terakhir.” Hanya itu. Mas Danarto memang terpengaruh dengan isu kiamat.
Di Hotel Nikko, Jakarta, Agustus tahun lalu dia bercerita tak mau menjadi manusia yang hidup hingga masa kiamat. “Pasti mengerikan Rus,” kata Mas Danarto. Saya tertawa. Mas Danarto minta saya menunjukkan tempat salat Jumat di hotel itu. Pernah kata Mas Nano, ketika Jakarta diguncang huru-hara, Mas Danarto mengirimkan pesan ke teman-temanya untuk segera membeli sebanyak mungkin mi instan dan mengumpulkannya. Dia pun meminta kepada teman-temannya agar segera mencari tempat di ketinggian. Jakarta akan tenggelam, katanya.