Waktu itu, saya tahu Mas Danarto masih menjadi pengikut Lia Eden. “Kasihan Mas Danarto enggak punya anak,” kata saya kepada Mas Nano. “Iya, dari mantan istrinya memang tak punya tapi kita kanenggak tahu, jangan-jangan, anak-anaknya malah ada di mana-mana? “ jawab Mas Nano. Kembali, kami semua tertawa. Lalu Mas Putu yang sejak tadi terlihat menelepon di ujung lift menghampiri kami. “Ini repot,” katanya. Dia menjelaskan, Harapan Kita adalah rumah sakit khusus jantung dan orang yang dibawa ke sana, harus benar-benar penderita jantung. Selain pasien jantung pasti ditolak.
Celakanya jantung Mas Danarto relatif tidak ada gangguan. Dia hanya menderita asma, paru-paru, dan kaki bengkak. “Takutnya di sana, Mas Danarto malah ditolak,” kata Mas Putu. “Coba telepon rumah sakit lain,” kata Mas Nano. “Di Pertamina penuh,” jawab yang lain. “Heran, orang sakit kok berbarengan,” timpal seseorang. “Abdi Waluyo bagus,” kata Mas Nano. “Yang di Menteng, Jalan Jawa itu?” “Waduh repot kalau di sana.” “Di depannya ada warung ikan bakar kesukaan Mas Danarto.” “Coba, coba telepon Abdi Waluyo. Bagus. Di sana juga ada pemeriksaan jantung,” kata Mas Nano.
Pak Boed Keputusan siang itu, Mas Danarto akhirnya akan dipindah ke RS Abdi Waluyo. Saya bertanya ke Mbak Fien, biaya perawatan Mas Danarto. “Kemarin ada yangngasih cash,” katanya. “Siapa?” tanya saya. “Pak Boediono,” jawab Mbak Fien. “Berapa?” Mbak Fien mengangkat bahu. “Kalau tidak cukup?” “Nanti kita cari bareng-bareng.” Mas Bambu (Bambang Bujono), yang menjenguk Mas Danarto sehari sebelumnya bercerita, Pak Boediono yang Wakil Presiden itu memang ikut menjenguk ke rumah sakit. “Dia (Pak Boed) kan penggemar tulisan Mas Danarto, Orang Jawa Naik Haji itu,” kata Mas Bambu.
Orang Jawa Naik Haji yang ditulis Mas Danarto diterbitkan oleh Grafitipers, Jakarta, 1984. Buku setebal 79 halaman itu bercerita tentang pengalaman Mas Danarto naik haji. Kisahnya lucu, khas Mas Danarto yang ndeso. Sesaat kemudian saya melihat Mas Danarto sudah bersiap dan keluar kamar. Tetap mengenakan celana kolor biru laut dan baju kembang-kembang. Di kirinya tangannya ada tas kain. “Sudah siap naik ambulans?” seseorang terdengar menggoda. Mas Danarto tersenyum. Dia melangkah beberapa depa tapi kemudian kembali ke dalam kamar. “Sebentar.
Tas bungkusan bajuku tertukar,” katanya. Dari ujung koridor, seseorang terlihat mendorong kursi roda butut ke depan pintu kamar. Besinya berkarat. Saya memeganginya dari belakang. Siap mendorong. Mas Danarto keluar dari kamar dan terkekeh melihat kursi roda itu. “Harus duduk di kursi ini,” kata saya. Mbak Ratna, Mbak Fien dan yang lainnya, bergegas membawa barang-barang bawaan Mas Danarto. Mas Suprobo, pelukis itu, saya lihat juga sudah datang. Saya mulai mendorong. Seorang pria sibuk memotret Mas Danarto yang senyum-senyum di kursi roda.
Jadi pindah sekarang Pak? Sudah ditelepon rumah sakitnya?” pertanyaan seorang perawat tiba-tiba memecah keasyikan kami. “Bapak harus bilang dulu ke kami. Tidak bisa pasien naik kursi roda. Harus diangkut dengan ranjang itu Pak,” kata dia sambil menunjuk sebuah ranjang besi. Kami semua melihat ke ranjang itu. Orang-orang menyebutnya brankar. Teronggok di sebelah mulut tangga turun. Tingginya sedada saya. Warna merah alasnya. Petugas itu lalu mendorongnya mendekati Mas Danarto. “Silakan naik ke sini Pak,” kata dia. Susah payah Mas Danarto mencoba naik ke ranjang itu.
Tak berhasil. Petugas itu lalu menyorongkan sebuah kursi untuk dipijak. Saya yang kerempeng dan Mas Putu yang tinggi mencoba membantu Mas Danarto yang tambun, naik ke ranjang. Hap, bisa juga akhirnya. Mas Danarto telentang di sana meski posisi kepalanya agak menjorok ke luar ranjang. “Geser Mas, geser,” kata seseorang. Mas Danarto diam saja. Mata laki-laki yang menjelang berusia 70 tahun itu menatap langit-langit. Mulutnya tetap tersenyum. Rambutnya saya lihat semakin putih, seperti bulu-bulu angsa yang ditumpuk. Saya menyelipkan sandal bututnya di ikatan yang ada di ranjang.
Petugas rumah sakit lalu mendorong ranjang itu masuk ke lift. Saya turun lewat tangga. Di lantai bawah saya menyaksikan brankar dengan Mas Danarto di atasnya terus didorong menuju ambulans. Lelaki itu tetap mencoba membagi senyum, meski saya wajahnya saya lihat agak tegang. Ambulans bergegas melaju. Mbak Fien dan suaminya Mas Arswendy ada di mobil Kijang cokelat di depan ambulans, membuka jalan. Bbeberapa seniman ada di belakang ambulans dengan menumpang Nissan X Trail. Mungkin mobil Mas Putu. Mobil yang saya tumpangi membuntuti dari belakang.
Mas Nano dan Mbak Ratna di mobil lainnya, di belakang mobil yang saya tumpangi. Saya melirik arloji. Jam 2 siang. Terik di Pondok Cabe hari itu berganti gerimis. Keluar dari Pintu Tol Pramuka, mobil saya berpisah dengan ambulans yang memuat Mas Danarto dan rombongan. Saya tak ikut mengantar ke RS Abdi Waluyo.
Sore itu saya harus ke Departemen Luar Negeri dan sesudahnya mengikuti rapat redaksi di kantor. Pagi ini, ketika saya menulis semua ini, Mbak Fien berkabar lewat pesan di Facebook: Mas Danarto sudah dioperasi dan di jantungnya dipasangi alat pacu. Dia kini dirawat di Kamar 305. Cepat sembuh Mas. Naik ambulans tidak seperti yang sampeantakutkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H