Jakarta yang merupakan Ibu Kota Negara Indonesia saat ini akan digantikan dengan Nusantara sebagai Ibu Kota Negara yang baru. Presiden Joko Widodo, pada 2019 lalu mengumumkan letak ibu kota baru Indonesia. Ibu kota akan dipindahkan ke dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
Pemindahan Ibu Kota Negara ini merupakan sebuah proyek pembangunan berskala besar dengan waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak sedikit. Pemindahan Ibu Kota Negara memiliki urgensi,Â
- Pertama, menghadapi tantangan masa depan. Sesuai dengan Visi Indonesia 2045 yaitu Indonesia Maju, ekonomi Indonesia akan masuk 5 besar dunia pada tahun 2045.
- Kedua, IKN harus mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan merata termasuk di Kawasan Timur Indonesia.
- Ketiga, kondisi objektif Jakarta yang tidak cocok lagi sebagai IKN. Hal ini dapat dilihat dari kepadatan penduduk, kemacetan, serta permasalahan lingkungan dan geologi yang telah akut antara lain banjir dan penurunan tanah yang mengakibatkan Sebagian wilayah di Jakarta berada di bawah permukaan laut.
Ibu Kota Negara nantinya akan memiliki 3 ring yang secara konsentris mengelilingi inti pusat pemerintahan. Adapun ketiga ring tersebut yaitu Kawasan Inti Pusat Pemerintahan, Kawasan Ibu Kota Negara (IKN) dan Kawasan Perluasan Ibu Kota Negara. Ketiga ring Kawasan IKN ini bukanlah ruang kosong. Di areal ini terdapat 162 konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batubara hingga property. Sebanyak 158 dari 162 konsesi ini adalah konsesi batu bara yang masih menyisakan 94 lubang tambang menganga.
Pembangunan Ibu Kota Negara akan menerapkan konsep kota hutan yang berkelanjutan (Forest City) pada Ibu Kota Negara (IKN), Nusantara. Forest city merupakan istilah yang digunakan untuk konsep perkotaan yang didesain dengan menggabungkan infrastruktur perkotaan dengan vegetasi lokal yang ditujukan untuk meningkatkan ruang hijau. Konsep Forest City ini salah satunya akan dilakukan melalui program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang.
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan No. 23 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan Dan Lahan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan guna meningkatnya daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan. Sedangkan Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan yang bertujuan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem yang terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya. Sasaran reklamasi adalah mengembalikan lahan tambang yang mirip dengan kondisi sebelum penambangan, termasuk komposisi dan struktur vegetasi yang ada didalamnya. Reklamasi lahan bekas tambang selain dapat dilakukan revegetasi atau penenaman kembali juga dapat dilakukan dengan merubah fungsi lahan menjadi tempat dengan kegunaan baru atau tempat wisata.
Program Rehabilitasi dan Reklamasi ini tentunya merupakan program yang akan banyak menimbulkan dampak positif. Beberapa dampak Positif dari program tersebut yaitu mengurangi polusi rumah kaca dan meningkatkan kualitas udara, bertambahnya ruang hijau yang dapat meningkatkan kualitas hidup yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat, kelestarian lingkungan hidup yang meliputi kelestarian hewan, tanah dan kualitas air. Namun, program tersebut juga mempunyai resiko yaitu pelaksanaan yang tidak mudah dimana dibutuhkan perencanaan yang matang dan hati-hati, dibutuhkan beberapa hal spesifik yang terkadang tidak dapat terpenuhi, dan pengaplikasian konsep yang sewenang-wenang tanpa perencanaan matang dapat mempengaruhi ekosistem yang dapat dan mendorong munculnya spesies invasif.
Beberapa faktor juga dapat mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi dan reklamasi, seperti faktor teknis berupa iklim, tanah, pemilihan tanaman, dan aspek ekologi lainnya, faktor kelembagaan yaitu tenaga pelaksana, dan faktor sosial ekonomi. Pada reklamasi, lahan tambang yang masih aktif pun dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan.Â
Pelaksanaan program rehabilitasi hutan dan reklamasi lahan bekas tambang dalam pembangunan IKN telah dilakukan sejak 2022. Salah satunya kegiatan penanaman vegetasi, selain penanaman Pemerintah juga membangun Pusat Persemaian Mentawir yang ditargetkan dapat menghasilkan 4 juta bibit per tahun. Sementara terkait reklamasi lahan bekas tambang salah satunya telah dilaksanakan pembangunan dermaga serta sarana olahraga dan wisata air.
Pembangunan IKN yang dikhawatirkan dapat beresiko merusak ekosistem hutan dan merusak kehidupan flora dan fauna endemik Kalimantan tampaknya tidak akan terjadi apabila dilihat dari program pembangunan yang melibatkan proses rehabilitasi dan reklamasi serta konsep Forest City yang akan diterapkan pada Ibu Kota Negara. Namun perlu diperhatikan juga bahwa program tersebut bukanlah hal yang mudah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan harus sangat diperhatikan dan direncanakan secara matang mengingat ini merupakan program yang berkaitan dengan alam dan lingkungan hidup.Â
Selepas semua isu pro dan kontra-nya, kita selaku warga negara Indonesia berharap agar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) mampu membawa dampak positif dalam skala yang luas sesuai dengan harapan menuju Indonesia Maju 2045 tanpa menimbulkan dampak negatif bagi seluruh Masyarakat serta dapat berjalan dengan baik dan sesuai rencana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H