Menurut Undang-Undang No 38 tahun 2004 Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
Dalam UU tersebut dijelaskan pula bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi yang merupakan urat nadi kehidupan masyarakat mempunyai peranan penting dalam usaha perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam kerangka tersebut, jalan mempunyai peranan untuk mewujudkan sasaran pembangunan seperti pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Perasaan ya kecewa, marah juga merasa kasihan buat masyarakat Waesala dan sekitarnya, jika membandingkan dengan daerah lain di sbb...”
Pernyataan yang sengaja saya beri tanda italic di atas merupakan ungkapan kekecewaan salah satu warga Waesala yang berinisial MC. Menurutnya jalan yang rusak itu di jalur Hanunu-Allang Asaude dan Allang Asaude-Waesala. Jalan yang rusak parah sekitar 5 Km, dan yang belum diaspal kurang lebih sekitar 30 Km.
Untuk diketahui bahwa jarak antara Ibu Kota Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dengan Kecamatan Waesala sekitar 50 Km. Jika jalan yang belum diaspal kurang lebih sepanjang 30 Km, itu artinya sejak Kabupaten SBB dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah tahun 2003 hingga 2016 ini baru 20 Km yang diaspal. Waktu yang ditempuh dengan mobil adalah 3 jam lebih, sementara untuk kendaraan roda dua membutuhkan waktu setidaknya 2,5 jam.
Biaya tranportasi untuk mobil penumpang Rp.50.000/orang, dan jasa ojek sepeda motor sebesar Rp. 125.000. Biaya ini sangatlah mahal, namun jika dilihat kondisi jalan Trans Seram Piru-Waesala, maka biayanya sangatlah seimbang.
Pasalnya hingga saat ini kondisi jalan tersebut rusak parah, apa lagi jika didatangi musim hujan, bis angkutan dan kendaraan lainnya sering mengalami mogok akibat melesak pada tanah basah yang sudah berbentuk kolam/lubang dan becek.
Menurut MC yang dihubungi Senin (25/07) lalu, dia menuturkan bahwa kondisi jalan seperti ini sudah lama rusak dan tidak mengalami perubahan sejak dirinya menetap di Waesala selama 11 tahun lamanya, bahkan kerusakan itu semakin hari semakin parah dari sebelumnya.
MC melanjutkan bahwa, Pemerintah Kabupaten sesekali melakukan perbaikan ringan dengan sirtu, namun setiap kali musim hujan jalan itu rusak lagi, ada juga yang sudah di aspal tapi tidak sepanjang jalan, hanya beberapa titik saja. Dia juga mengatakan bahwa keluhan warga sudah disampaikan melalui forum musrembang namun jawaban dari Pemerintah Kabupaten bahwa itu merupakan statusnya jalan provinsi dan jadi tanggung jawab penuh pemerintah Provinsi atau APBN.
Padahal dalam Undang-Undang No 38 tahun 2004 pasal 9, dijelaskan bahwa:
- Jalan umum menurut statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
- Jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antar ibu kota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
- Jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan ibu kota kabupaten/ kota, atau antar ibu kota kabupaten/kota, dan jalan strategis provinsi.
- Jalan kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang tidak termasuk pada ayat (2) dan ayat (3), yang menghubungkan ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan, antar ibu kota kecamatan, ibu kota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.