Mohon tunggu...
Rusata Tang
Rusata Tang Mohon Tunggu... lainnya -

suami 1 istri abah 1 putri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik Spiritual

12 Agustus 2012   15:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:53 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344909414933031866

Setinggi-tinggi bangau terbang, surutnya ke kubangan juga. Setinggi-tinggi batu melenting, jatuhnya ke tanah jua. Sejauh-jauh orang merantau, akhirnya mudik ke kampung halamannya. Kian dekat dengan Idul Fitri, suasana pulang kampung pun makin terasa. Terminal dan bandara lebih ramai dari biasanya. Jamaah salat tarawih mulai berkurang jumlahnya. Satu per satu mereka rontok mempersiapkan perjalanan menuju kampung halaman. Rupiah demi rupiah pun siap-siap mengalir ke berbagai pelosok. Dari segi ekonomi, tradisi mudik tentu berdampak positif bagi perekonomian daerah. Mereka yang mudik Lebaran sudah barang tentu membawa uang atau remittance. Ini sangat potensial, apalagi bila rupiah-rupiah itu dikonversikan dalam kegiatan usaha produktif. Akan ada peningkatan pembangunan di daerah asal, mengingat angka pemudik yang terus bertambah tiap tahun. Sayang, hingga kini yang terjadi adalah ironi, angka urbanisasi yang justru terus meninggi.

Tradisi mudik adalah bentuk kesadaran seseorang terhadap asal-usul, keluarga dan tanah kelahiran. Jadi sifatnya universal. Alhasil, fenomena mudik bukan semata milik Indonesia. Di Amerika Serikat tradisi mudik terjadi tiap jelang perayaan Thanksgiving Day. Di China masyarakat berduyun-duyun pulang kampung pada saat perayaan Gong Xi Fa Choi. Serupa di China, masyarakat Korea melakukan ritual mudik pada perayaan Lunar Year. Di negeri jiran deket Sumatera, tradisi mudik dikenal dengan nama “balik kampong”.

Bagi kita, kaum muslim tradisi mudik tak lepas dari nilai dan makna religi. Mudik dianggap sebagai etika sakral kembalinya kita pada sisi kemanusiaan otentik, yakni menghargai keberagaman secara nyata. Acara mudik yang dijalankan serangkaian dengan ibadah puasa, bayar zakat fitrah, dan Salat Ied merupakan ekspresi spiritual yang seyogianya bisa memulangkan kita pada semangat mempertahankan keharmonisan. Dengan semangat kepulangan ini semoga ke depan kita tak lagi menemukan tokoh agama yang karena dukungannya kepada seseorang mengeluarkan pernyataan berbau SARA. Saat diperiksa Panwaslu kita saksikan ia pun berurai air mata. Padahal kita tahu, ia adalah juga pemain sandiwara. Wallahu a’lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun