Tak terasa kita sudah sampai minggu terakhir di  penghujung Ramadan tahun ini. Puasa menjadi momen yang selalu dirindukan bagi umat muslim sebagai bulan yang penuh rahmat dan ampunan.
Sudah dua kali puasa kita ditemani pandemi, dalam situasi ini banyak memberi pelajaran bagi kita akan pentingnya kesadaran baik personal maupun sosial. Mengingatkan dan mengetuk empati untuk saling berbagi, menumbuhkan kesadaran pentingnya menjaga kesehatan diri dan juga orang lain.
Esensi ibadah puasa Ramadan bagi setiap muslim memiliki kewajiban untuk menjalankan puasa, tidak sebatas menahan lapar dan dahaga mulai dari fajar hingga terbenamnya matahari, namun bisa menjadikan momentum untuk merecharge sifat-sifat kemanusiaan untuk selalu berada di arah yang benar, mampu melakukan evaluasi akan kehidupan keagamaan dan kesadaran sosial kita.
Dari segi fisik menahan lapar dan dahaga, ada sisi lain yang kompleks dalam menjalankan ibadah sebulan penuh ini, yaitu non fisik. Dalam hal ini kita dituntut untuk menahan syahwat, amarah, berprasangka buruk, dan ghibah.
Selain itu, ibadah puasa harus bisa menjaga atau menutup rapat lisan untuk tidak berbicara hal-hal yang tidak perlu, ngobrol ngalor-ngidul yang berpotensi mengguncing orang lain. Namun, di era yang serba internet ini terkadang kita abai mengendalikan jemari di dunia maya menulis kata yang tak sadar bisa melukai perasaan individu atau kelompok tertentu.
Saya mengamati dan sering menjumpai unggahan sensitif, komentar negatif, dan statemen provokatif yang justru melenceng jauh dari esensi ibadah puasa itu sendiri.
Ramadan seperti alarm pembangkit rindu bagi yang sedang jauh berada di perantauan. Â
Tak sedikit bagi perantau swasta, pedagang, dan pekerja lepas memilih untuk pulang ke kampung pada saat Ramadan tiba. Tak lain bertujuan ingin menjalankan puasa dengan fokus dan khusyu' di rumah.
Menunaikan rukun Islam yang ke empat ini memerlukan persiapan juga kesabaran penuh, seperti mengurangi aktivitas-aktivitas yang tidak bermanfaat. Barangkali inilah yang sulit ketika kita dihadapkan pada kondisi dan tempat kerja yang penuh kesemrawutan. Bicara lepas, bercanda berlebihan yang bisa mengurangi nilai-nilai puasa itu sendiri.
Kenikmatan berpuasa akan terasa ketika kita mampu memaknainya sebagai ibadah dua aspek, fisik dan non fisik.
Kenikmatan itu begitu terasa saat kita mampu menahan lapar, mengendalikan ucapan, dengan mengisi aktifitas membaca, mengaji, juga mengkaji ulang atas apa yang pernah dulu kita pelajari ataupun perjalanan hidup yang telah dilewati.
Padatnya aktivitas harian yang terus berulang dalam waktu dan gerak yang sama seakan mempersempit adanya waktu luang. Kesibukan mencari nafkah, dikejar deadline seakan membombardir waktu luang kita untuk sekedar menepi dan evaluasi diri.
Ramadan hadir untuk mengingatkan kita, atas ambisi, lupa diri, dan segala bentuk keduniawian yang selalu tidak disadari memupus makna tentang sejatinya manusia dihidupkan.
Semoga ibadah puasa yang hanya tinggal menghitung hari ini membuka hati dan nurani kita. Mengevaluasi untuk memperbaiki akan kekurangan dan kesalahan diri, baik di hadapan Sang Pencipta maupun kepada sesama.
Rury
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H