Oleh: dr. Ruri D. Pamela,SpKK
Upaya menghilangkan diskriminasi terhadap penderita penyakit kusta tampaknya membutuhkan upaya ekstra berbagai pihak, karena tidak hanya diperlukan pemahaman akan penyakit ini, namun juga perubahan persepsi dan pola pikir. Diskriminasi sosial yang timbul akibat ketidaktahuan terhadap penyakit kusta menyisakan dampak yang menyakitkan tidak hanya untuk penderita namun juga keluarganya. Kusta atau lepra atau Morbus Hansen, dinamakan berdasarkan nama Gerhard Henrik Armauer Hansen, ahli kimia Norwegia yang pertama kali mengidentifikasi organisme penyebab penyakit ini yaitu Mycobacterium leprae. Sejak pertama kali ditemukan pada 300 SM hingga saat ini, kusta masih merupakan penyakit yang amat ditakuti karena komplikasi cacat permanen yang dapat ditimbulkannya. Ilmu kedokteran yang berkembang sedemikian mutakhir dapat mengeliminasi mikroorganisme penyebab penyakit ini dan mampu mencegah komplikasi. Namun, sedikit yang dapat dilakukan apabila penyakit ini telah menimbulkan kecacatan permanen. Indonesia adalah negara yang memiliki penderita kusta ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Brazil. Sepanjang tahun 2013, Kementerian Kesehatan RI mencatat 16.825 kasus kusta baru, dengan angka kecacatan 6,82 per 1.000.000 penduduk. “Prestasi” ini menjadikan kusta menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintah di sektor kesehatan yang belum tuntas. Program pemberantasan kusta yang dicanangkan World Health Organization (WHO) dengan memberikan Multidrug therapy (MDT) secara gratis sejak tahun 1995 telah menyembuhkan hampir 16 juta penderita kusta diseluruh dunia. Namun, keberhasilan penanganan kusta dari aspek medis tidak seiring dengan masalah yang timbul dari aspek psikososialnya, yaitu stigma. Status penderita kusta seolah terus melekat pada seorang penderita seumur hidupnya walaupun telah menyelesaikan rangkaian pengobatan dan telah dinyatakan sembuh serta tidak menular. Orang yang pernah mengalami kusta (OYPMK) mengalami isolasi sosial, dijauhkan, dan dikucilkan dalam masyarakat. Dipandang dari sisi kemanusiaan, potret diskriminasi yang dialami OYPMK merupakan hal yang serius dan tidak sepatutnya dibiarkan terjadi. Entah berapa banyak para OYPMK yang kehilangan harapan masa depannya akibat stigma yang terlanjur melekat dalam diri mereka. Ketidaktahuan terhadap penyakit kusta adalah akar utama dari timbulnya stigma. Ketidaktahuan menimbulkan ketakutan. Hal yang menjadi ironi adalah ketakutan akan penularan kusta tidak hanya menyerang masyarakat yang awam mengenai penyakit ini tetapi juga pada para petugas medis yang notabene adalah kelompok yang dianggap paham segala sesuatu tentang kesehatan. Sungguh tidak menyenangkan melihat kenyataan seorang dokter bedah ragu mengoperasi luka di kaki seorang pasien yang menderita kusta karena takut tertular. Atau seorang suster yang mengharuskan pasien kusta untuk dirawat inap di ruang isolasi karena takut menularkan ke pasien yang lain.
Kusta adalah penyakit menular yang tidak mudah menular! Sekitar 95% penduduk sebetulnya memiliki kekebalan alamiah terhadap penyakit ini.Tidak perlu kawatir apabila berbicara, bersalaman, atau merangkul penderita kusta karena penyakit ini tidak mudah menular begitu saja. Untuk dapat menular harus ada kontak yang erat dalam jangka waktu lama dengan penderita yang terinfeksi dan belum mendapat pengobatan. Penderita kusta yang segera mendapat pengobatan maka bakteri penyebab akan langsung berkurang secara signifikan sehingga tidak lagi dapat menularkan kepada orang lain. Beberapa penelitian terakhir bahkan menjelaskan bahwa tidak semua orang dapat menderita kusta walaupun terpapar terus menerus dengan penyakit ini, karena dibutuhkan adanya kerentanan genetik (genetic susceptibility). Gejala paling umum dari penyakit ini adalah timbulnya bercak putih atau kemerahan yang dapat disertai dengan rasa baal pada area tersebut. Namun, keunikan penyakit kusta adalah manifestasinya kelainan kulitnya yang dapat menyerupai penyakit kulit apa saja sehingga mendapat julukan “the great imitator”.
Orang yang pernah menderita kusta tidak layak untuk dijauhi dan dikucilkan. Kecacatan yang timbul mungkin tampak menyeramkan, namun hal itu terjadi karena mereka terlambat memperoleh pengobatan. Kunci agar tidak terjadi kecacatan adalah penemuan kasus kusta secara dini. Stigma sosial yang dilekatkan pada OYPMK justru dapat menghambat upaya tersebut. Penderita akan merasa malu dan tidak percaya diri sehingga ragu-ragu untuk memeriksakan dirinya. Harus ada komitmen dan motivasi dari penderita dan keluarga, serta masyarakat di sekeliling penderita. Bantulah OYPMK untuk dapat berdiri sendiri dan mendapat tempat di masyarakat. Kenalilah penyakit kusta dengan benar dan tidak perlu merasa takut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H