Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Wallace Mengapresiasi Foto Sungai di Jawa Bidikan Woodbury

18 April 2014   02:53 Diperbarui: 23 Februari 2018   16:10 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


kredit: http://wallace-online.org/converted/published/Wallace%20Shorter%20publications/1875_Woodbury_S252b_fig001.jpg

Walter Bentley Woodbury: “Pahlawan” Fotografi Indonesia (Bagian ke-1)

Tidak ada negara mana pun di dunia yang keindahan dan kelebatan vegetasi tropisnya ditampilkan lebih baik daripada di Jawa. Di dataran rendahnya, hutan besar yang pernah menutupi seluruh negeri memang telah hilang, namun bahkan tepian sungainya saja sering menyajikan potongan menawan alam tropis.

Puja-puji tersebut dilontarkan Alfred R.Wallace (1823-1913), si peletak garis imajiner transisi fauna Asia dan Australasia di kepulauan Indonesia (yang kemudian dikenal dengan nama Garis Wallace), demi melihat foto buah “jepretan” Walter Bentley Woodbury (1834-1885) di atas.

Pemandangan semacam yang tampak di foto tersebut, bahkan di abad ke-21 ini pun sebenarnya masih sering bisa dijumpai, misalnya di lokasi agak hilir dari Sungai Citarum, Jawa Barat. Tak ada ketajaman rasa terlibat ketika mengamatinya. Namun ketika para “bule” begitu apresiatif terhadap pemandangan yang diabadikan Woodbury di era akhir 1800-an ini, sisi sensitivitas kita menjadi ikut melebar.

Begitu bangganya Woodbury pada foto ini sehingga dia memajangnya sebagai satu dari beberapa hasil jepretannya (antara lain juga di Inggris dan Australia) dalam bukunya yang diberi judul “Treasure Spots of the World”; buku yang kemudian menjadi bahan pembelajaran fotografi di seluruh dunia. Laman Getty.edu, mengambil contoh gambar ini ketika membahas teknik fotografi yang diciptakan Woodbury yang kemudian dipatenkan dengan nama Woodburytype.

Penggambaran oleh orang asing, apalagi sekaliber Wallace, memang dapat memberikan sudut pandang obyektif terhadap apa yang sudah terlalu biasa kita lihat. Sebagai naturalis, antropologis, geografer, dan ahli biologi yang pernah menjelajah alam Indonesia di akhir abad ke-19 ini, Wallace tahu bagaimana suasana ketika buah-buah pohon kapuk, yang disebutnya “silk-cotton trees” alias bombaceae, meledak terbuka lalu kapas-kapasnya yang putih berjatuhan ke tanah. Dia mendeskripsikan ini untuk mengomentari kehadiran pohon kapuk pada gambar tersebut (di kanan pohon kelapa).

Wallace juga membahas pohon sukun alias “bread fruit”; Artocapus insica; yang dedaunannya tampak melebat di kiri atas foto. Pohon ini, sebut Wallace, berasal dari pulau-pulau di Pasifik namun telah lama dibudidayakan di kepulauan Melayu.

Terhadap pohon-pohon bambu yang kata dia tampak seperti bulu-bulu; berjuntaian di kaki dua pohon kelapa (tengah atas gambar), Wallace menyebutkan bahwa “rerumputan tropis raksasa” ini mungkin yang paling indah dan anggun dari semua tanaman.

Di sebelah kanan pohon kapuk, Wallace “menemukan” pohon kelapa jenis lainnya, yakni aren. Dia mengatakan, para ahli botani mengenalnya dengan nama Arenga saccharifera. Pohon ini, jelas Wallace, sangat dihargai oleh orang-orang Melayu karena dapat menghasilkan “wine” (tuak), gula merah, dan ijuk yang dapat ditenun menjadi tali. Wallace juga dengan jelinya menemukan ada pohon sagu di posisi paling kanan gambar; di sebelah rumpun pohon pisang.

“Tak kurang (pada gambar ini) ada tujuh tanaman topis yang berguna, indah, dan menimbulkan rasa penasaran. Semua itu tumbuh subur di daerah dengan hujan yang turun konstan dan sinar matahari yang kerap; di  mana burung cemerlang melayang di antara pepohonan, kupu-kupu beterbangan dengan malas,  kadal yang mengilap merayap tanpa suara, dan dengung serangga yang memenuhi udara.

Mereka (binatang-binatang tersebut) akan lebih mampu membayangkan sendiri realitas hidup dari lanskap tropis, yang bahkan foto paling jujur pun tidak dapat mewakili kesempurnaannya.” Demikian sang botanis menuturkan.

Mari kita lepas dulu “sihir” sanjungan Wallace terhadap isi foto tersebut, karena tulisan ini sebenarnya lebih ingin membahas sang pemotret, Walter Bentley Woodbury. Setidaknya, hasil jepretan Woodbury ini telah mendapat apresiasi penuh emosi dari “rival” Charles Darwin ini.

Foto yang disebut-sebut dipotret Woodbury di Pulau Jawa ini (tidak disebutkan lokasi tepatnya), seperti telah disebutkan sebelumnya, adalah satu dari banyak foto yang dimuat dalam buku “Treasure Spots of the World”. Buku ini memuat foto-foto bidikan Woodbury saat berada di Australia pada 1952, di Hindia Belanda 1857-1863, dan di negerinya sendiri, Inggris, dari 1863 hingga meninggal 1885.

Foto lainnya yang juga seringkali dicuplik dari buku ini untuk dikaji para peminat fotografi  adalah foto berupa patung raksasa berukuran raksasa; khas Indonesia, sebagaimana pemandangan sungai di atas. Foto-foto Woodbury menjadikan Indonesia sebagai pembicaraan di manapun kala membahas fotografi abad ke-19 karyanya ini.

Di masa kini, foto-foto jepretan Woodbury (dan koleganya, James Page) dapat dilihat pada buku “Indonesia: 500 Early Postcards” karya Steven Wachlin dan Leo Haks. “Ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda (Dutch/Netherland East Indies), gambar-gambar padakartu poskala itu membuat banyak orang asing melihat untuk pertamakalinya apa yang dimiliki tanah yang memesona ini; negara kepulauan terbesar di dunia.” Demikian ulasan Goodreads.com mengenai buku ini.

Sementara Amazon.com menulis: buku ini menyajikan gambaran yang jelas tentang sejarah dan budaya Indonesia yang unik, mulai pakaian dan upacara adat, seni dan monumen,melalui pedesaan-pedesaan yang menakjubkan dan masyarakat yang dinamis.

Ke-500 gambar kartu pos yang dimuat dalam buku tersebut, menurut Wachlin dan Haks, berasal dari perusahaan studio foto Woodbury & Page di Batavia dan Chephas di Yogyakarta. Steven Wachlin adalah sejarahwan dari Universitas Amsterdam, penulis buku “Woodbury & Page, Photographers Java” (1994), dan penulis pendamping dari buku “Toekang Potret: 100 Years of Photography in the Dutch Indies 1839-1939” (1989).

Sedangkan Leo Haks adalah seorang kolektor buku, lukisan, foto-foto, barang cetakan, termasuk kartu pos tentang Indonesia (Hindia Belanda). Aktivitas mengoleksi benda-benda tersebut telah dilakoni Haks sejak 1984.

Dalam buku itu, duo penulisnya tersebut menyebut sumber-sumber fotonya selain berasal dari perusahaan studio foto Woodbury & Page di Batavia, juga Chephas di Yogyakarta. Chephas mengacu pada nama Kassian Cephas (1844-1912), yang disebut-sebut sebagai anak pasangan Indonesia bernama Kartodrono dan Minah.

Jika dilihat masa aktifnya, Kassian boleh dibilang termasuk orang Indonesia pertama yang mengaplikasikan teknik foto ala abad ke-19 ini (fotomekanikal). Ketika itu Kassian dikenal sebagai fotografer khusus Keraton Yogyakarta di masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwono VII.

Nama Woodbury tentu merujuk pada nama Walter Bentley Woodbury, sedangkan Page adalah James Page; teman seperjuangannya. Terlepas dari muram dan kelamnya sejarah Indonesia di masa pendudukan Belanda, betapa beruntungnya Indonesia ketika duo fotografer ini memilih datang ke Hindia Belanda kala itu, dan mengabadikan isinya.

Tanpa mereka, Indonesia tak akan memiliki banyak gambaran mengenai suasana negeri ini di tahun 1800-an akhir, misalnya suasana candi Borobudur ketika puing-puing candinya masih berserakan. Atau gambar suasana perkotaan di masa itu ketika jalanan masih berkalang tanah; lengkap dengan jejak-jejak roda pedati, dengan sebagian bangunan atau lanskapnya masih bisa dikenali hingga kini.


Dipatenkan sebagai Woodburytipe

Mungkin tak terbayangkan oleh Woodbury dan Page ketika itu bahwa foto-foto karyanya kini bakal sangat penting bagi dokumentasi perjalanan sejarah fotografi Indonesia bahkan dunia. Pasalnya kala itu Woodury dan Page lebih dikenal sebagai fotografer yang menawarkan jasa pemotretan komersial.

Bisnis studio foto mereka bahkan sempat sukses hingga akhirnya mendirikan studio foto di Batavia. Nama Woodbury sendiri kemudian menjadi lebih mendunia, hingga kini, karena dia berhasil mempatenkan karya dan teknik fotografinya dengan nama Woodburytype.

Hingga kini, hasil karya Woodbury masih berseliweran di dunia lelang barang antik dan dihargai dengan harga sangat tinggi. Di rumah lelang Bonham, satu paket album berisi 248 gambar/potret figur orang-orang Indonesia terkemuka, foto bertema etnografi di masa Hindia Belanda, foto kehidupan di Indonesia era kolonial Belanda, dan pemandangan topografi mulai dari Sumatra hingga Maluku, dilelang dengan harga mencapai Rp 1,1 miliar (Rp 1.102.049.538). Foto-foto antik ini diabadikan Woodbury dan Page dalam kurun 1857-1863; periode Woodbury menetap di Indonesia.

Karya-karyanya, khususnya Woodbury, hingga saat ini tak habis-habis diapresiasi dunia, khususnya di kalangan penikmat/pegiat fotografi. Jadi, selain berjasa mewariskan gambar-gambar yang menggugah emosi para penikmat sejarah mengenai suasana kehidupan Indonesia di abad ke-19—yang sebagian karyanya kini bisa dinikmati di dunia maya—Woodbury juga selalu “membawa-bawa” nama Indonesia dalam setiap percakapan, pembahasan, diskusi; atau apapun namanya; tentang dia.

Satu buku yang boleh dibilang terbaru tentang Woodbury adalah “The History of Woodburytipe” terbitan Carl Mautz Publishing, Amerika Serikat, 2006. Dalam bagian tulisan tentang biografi Woodbury, ditulis bahwa Woodbury adalah fotografer penting asal Inggris yang berkiprah di Australia dan di Pulau Jawa pada 1860-an.

Carl Mautz mengatakan, buku ini satu-satunya buku modern tentang Woodbury dan Woodburytype; ditulis oleh Barret Oliver. Oliver adalah seorang fotografer sekaligus pengajar fotografi di California, AS, yang memiliki keahlian di bidang fotomekanikal dengan teknik Woodburytype. Sekadar selingan, menurut informasi yang berseliweran di internet, Barret Oliver adalah aktor cilik AS era 1980-an, yang antara lain bermain dalam film D.A.R.Y.L. dan Cocoon.

Karenanya tak mengherankan jika melakukan pencarian di internet, semua yang terkait sejarah Woodbury ataupun karya-karyanya, tak luput menyebut nama Batavia, Java (Jawa), atau Dutch/Netherland East Indie alias Hindia Belanda; nama Indonesia kala masih dijajah Belanda. Karya-karya foto yang muncul pun nyaris lebih banyak menggambarkan suasana Indonesia di akhir abad ke-19 tersebut: wajah-wajah melayu; kadang dengan atribut pakaian sangat khas Indonesia seperti kebaya, pangsi, ikat kepala, baju kemben, dll.

Begitu juga dengan gambar-gambar sungai lebar yang tenang dengan sampan-sampan bambu dan vegetasi khas Indonesia seperti pohon pisang dan rumpun bambu (seperti yang telah dibahas di awal tulisan). Tanpa diimbuhi keterangan pun, sebagai orang Indonesia kita bisa mengenali, ini pasti di Indonesia.

Foto-foto karya Woodbury tersebut, kini banyak kita temukan atas nama/kepemilikan KITLV atau Tropen Museum. Tampaknya kedua lembaga yang berbasis di Amsterdam, Belanda, ini, memang mengoleksi foto-foto jepretan Woodbury (tak heran).

Di tangan Woodbury, fotografi menjadi media yang bisa menggambarkan, menjelaskan, dan mungkin untuk berdamai dengan sisi kelam sejarah Indonesia kala dijajah Belanda. Fotografi menjadi alat yang penting dalam mendefinisikan suatu periode dari suatu era dari negeri ini. Woodbury (dan Page) sesungguhnya telah menjadi pahlawan tersendiri bagi perjalanan sejarah Indonesia. (dari berbagai sumber/bersambung)



Sumber pendukung:

http://wallace-online.org/content/frameset?pageseq=1&itemID=S252b&viewtype=text

http://achmadsunjayadi.wordpress.com/2007/03/10/menjual-imajinasi-kenangan-masa-lalu/

http://bk-bayukelana.blogspot.com/2012/12/sejarah-fotografi-indonesia.html

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/f/f2/Kassian_Cephas_1905.jpg




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun