Mohon tunggu...
Ruri Andayani
Ruri Andayani Mohon Tunggu... Freelancer - Hanya seorang penyintas kehidupan

Saya siapa yaa?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Memahami Kemanusiaan melalui "Malam", Mohtar Lubis adalah Kuncinya

24 Februari 2018   12:08 Diperbarui: 24 Februari 2018   16:58 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Ini bukan tentang buku baru, bahkan tergolong lama. Tapi pelajaran kemanusiaan dari buku ini bersifat universal dan "timeless". Melalui buku ini, seharusnya setiap orang bisa belajar bahwa ini tak terkait polemik agama, melainkan kemanusiaan; perang batin seorang remaja 15 tahun yang bisa terjadi pada siapa saja yang mengaku manusia.

Kala itu tahun 2009 di satu pameran buku, buku ini berada bersama buku lainnya yang dibandrol Rp 10.000-an. Adalah kata pengantar dari Mohtar Lubis (alm) yang membuat saya mau merogoh kocek bahkan untuk buku yang sudah diobral ini; novel tipis tapi terasa padat berisi. Kenapa kata pengantar Mohtar Lubis di buku ini menjadi penting bagi saya?

Elie Wiesel, nama yang seringkali saya dengar, namun makin terngiang-ngiang gara-gara satu waktu saya menonton salah satu episode "Oprah Winfrey Show". Dalam episode tersebut, Oprah ---di tengah cuaca bersalju--- berjalan-jalan sambil menggandeng mesra lengan Wiesel, mengunjungi tempat-tempat yang disebut Wiesel dalam "Night" sebagai ladang pembantaian kaum Yahudi, di mana Wiesel pernah menjadi penghuninya. Tempat tersebut antara lain Kamp Auschwitz yang "masyhur" itu.

Jelaslah, mengapa buat saya yang seorang muslim (yang masih terus mencari dan mencari) menjadi penting siapa yang memberi pengantar pada buku tersebut. Mungkin hanya para muslim lagi yang bisa lebih memahami, betapa isu Yahudi sangat menggaung dalam kehidupan keberagamaannya.

Saya sebenarnya tidak terlalu mengenal Mohtar Lubis seperti halnya saya "kenal" almarhum Nurcholis Majid. Namun saya tahu, Mohtar Lubis adalah salah seorang sastrawan yang diperhitungkan pada zamannya di negeri ini. Dan yang lebih penting lagi dalam kaitannya dengan buku yang diterjemahkan ke dalam Indonesia menjadi "Malam" ini, beliau adalah seorang sastrawan yang islami tapi moderat.

Membaca "kata pengantar" Mohtar Lubis dalam "Malam", saya merasa terbantu menginterpretasikan penuturan Wiesel di bukunya itu. Apa yang ditulis Mohtar Lubis, dengan tepat merepresentasikan apa yang ada dalam pikiran saya (kecuali beberapa hal, seperti mengenai jumlah korban holocaust). Mohtar Lubis menulis: "Membaca buku ini... seakan kaum Nazi bukan lagi manusia ciptaan Tuhan, akan tetapi makhluk-makhluk mahabuas yang menjelma menyerupai manusia."

Padahal seperti juga ditulis Mohtar, Wiesel menuturkan pengalamannya dalam buku ini dengan cara bersahaja. "Seakan ia menulis pengalaman biasa yang setiap hari dialami manusia," tulis Mohtar. Bahkan menurut saya, Wiesel seolah-olah menceritakan kembali pengalamannya ini dengan menggunakan pikiran remaja 15 tahun, usia saat Wiesel mengalami kejadian tersebut, yang mungkin belum terlalu memahami gonjang-ganjing politik yang sedang terjadi saat itu.

Menurut saya ini kekuatan gaya menulis yang perlu ditiru. Tak ada upaya dramatisasi atau deskripsi berlebihan, namun pembaca dapat memahami bahwa apa yang tengah dialami Wiesel sangat menakutkan.

Misalnya saja pada bagian saat Wiesel melihat dengan mata kepalanya sendiri, anak-anak dan bayi-bayi dibuang ke dalam api, ke dalam suatu liang, dan "dunia hanya membisu". Dia berharap, ini hanya suatu mimpi buruk dan dia akan segera terbangun. "Apakah heran bahwa aku tidak dapat tidur sesudah melihat itu," tulis Wiesel, seperti polos.

Belum lagi ketika pengucapan umur menjadi penting, karena orang Yahudi di bawah 18 tahun dan di atas 40 tahun, akan disisihkan. Dan menurut desas-desus yang didengar Wiesel, mereka yang disisihkan itu akan menjadi "bahan bakar" krematorium. Saya lantas menginterpretasikan: mungkin karena umur di bawah 18 tahun dan di atas 40 tahun dianggap usia tidak produktif. Wiesel sendiri tidak menjelaskan mengenai apa maksud dari diskriminasi umur tersebut.

Atau pada bagian saat para "tahanan" Yahudi ---tak peduli sudah tua atau sakit--- diharuskan berjalan, setengah lari, tanpa henti, untuk jarak 70 kilometer, di bawah ancaman tentara SS yang akan menembak siapa saja yang berhenti, di tengah guyuran salju yang pekat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun