Mohon tunggu...
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri)
Khuriyatul Ainiyah (Bude Ruri) Mohon Tunggu... Guru - Guru SD, Penulis buku

Hidup bermanfaat lebih beruntung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bagaimanakah Cara Kita Menyikapi Saat Harga Beras Melambung?

7 Maret 2024   20:29 Diperbarui: 7 Maret 2024   20:35 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dahulu kehidupan saya  di lingkungan pedesaan, hingga saat menikah dan mendapat pekerjaan di kota lain pun, menetap  di pedesaan.

Hampir semua penduduk di tempat saya tinggal berpenghasilan dari bertani. Hidup seadanya, jauh dari kata mewah. Kehidupan bertetangga pun masih kental dengan kerukunan, saat ada tetangga yang punya hajat, masih sering bergotong royong.

Saat tetangga mempunyai sayuran, masih sering ditawari untuk memetik di kebon atau di pekarangan rumah. sSaat itu belum ada listrik, sehingga saat belajar masih ditemani lampu teplok.

Lampu yang setiap sore mengisi bahan bakar minyak dan membersihkan semprong, kaca pelindung api. Sesekali menyalakan lampu petromak saat giliran tahlilan. Saat lampu petromak menyala rasanya seperti menjadi orang kaya yang hidup di kota.

Masa kecil dulu suka bermain layang-layang dengan teman sekampung sambil menggembala domba punya teman. Selain itu kami beramai-ramai membantu teman mencari rumput, setelah dirasa sudah banyak kemudian kita bermain di pematang sawah.

Kadang mencari capung atau bermain dermanen, sejenis terompet yang terbuat dari batang padi. Jika di tiup maka akan bersuara nyaring seperti terompet.

Mungkinkah diantara pembaca pernah bermain dermanen seperti ini? adalah mainan anak-anak di tahun delapan puluhan. Permainan anak-anak tempeo dulu, he ...he...

Pertanyaannya, apa makanan saya waktu itu? Saya ingat betul, dahulu makan nasi tiwul yang dicampur dengan beras. Waktu itu masih serumah dengan nenek. Nenek bilang kalau makan beras saja katanya tidak kenyang, jadi makannya harus dicampur.

Saya sih manut saja, dan juga mempercayainya. Padahal sebenarnya bagi nenek beras itu mahal, sehingga belinya sedikit. Gaplek pasti punya sendiri karena hasil dari tegalan. Sebenarnya nenek  juga panen beras namun belum sampai waktu panen berikutnya beras sudah keburu habis.

Entahlah,,mungkin dijual gabah, atau untuk keperluan yang lain, ah... entahlah saya masih kecil mana saya tahu gabah nenek untuk apa saja. Yang saya tahu, Ibu menumbuk gaplek saat sore tiba. Makan nasi tiwul saat beras habis. Tetapi saat panen tiba kami makan nasi beras lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun