Hari ini saat harga beras naik hingga 17.000 perkg di tempat tinggal saya, saya teringat waktu kecil, saat itu makannya dicampur dengan nasi tiwul.
Namun berbeda dengan zaman dulu, saat nenek mengatakan, "Kalau makan nasi beras tidak kenyang, supaya kenyang dicampur dengan nasi tiwul", waktu itu saya pun mempercayai apa kata nenek. Â
Sekarang, justru saat harga beras naik, pas juga dengan kebiasaan di lingkungan tempat tinggal saya ada  acara mapak. Tradisi  umat muslim di bulan sya'ban untuk saling memberi berkat dengan tetangga.
Sehingga walaupun beras naik, jika sudah menjadi kebiasaan masyarakat di lingkungan tempat tinggal saya tetap saja melaksanakan tradisi tersebut.
Walupun juga ada beberapa tetangga yang memang sengaja tidak melakukan acara mapak karena alasan kebutuhan pokok yang melambung, semua memakluminya.
Nah terkait dengan topik pilihan tentang apa pengganti beras, sebenarnya banyak bahan alternatif yang bisa menjadi pilihan, seperti jagung, ketela, kentang, sagu, atau sayur-sayuran. Semua tergantung pada individunya.
Namun menurutku selain adanya bahan alternatif tersebut yang lebih penting adalah bagaimana menyikapinya.
Menanamkan sikap nriman
Nriman dalam Bahasa Jawa artinya gampang menerima atrau menerima apa adanya. Jaman dahulu saat nenek menyampaikan beras mahal, dan harus diganti dengan nasi tiwul, semua anggota keluarga termasuk saya manut saja tidak ada yang protes.
Mungkin karena sudah terbiasa dan menjadi kebiasaan saat sudah tidak punya beras makannya seadanya dan tidak menggerutu. Sehingga saat di meja makan ada nasi beras atau nasi jagung atau nasi tiwul makannya tetap lahab.
Saya menjadi ingat saat pulang sekolah pakai sepeda ontel melewati pematang sawah, sudah terbayang makanan, sehingga mungkin karena lapar apapun makananannya rasanya tetap enak dan mengenyangkan.