Saat ini pembelajaran tatap muka sudah dimulai. Semua lembaga pendidikan telah mengadakan pembelajaran secara normal.Â
Lingkungan sekolah kembali ramai berpenghuni anak-anak yang haus akan ilmu. Suara pahlawan tanpa tanda jasa telah mengisi kelas-kelas yang sudah tiga tahun terlihat sepi karena Covid melanda negeri ini. Candaan anak-anak kembali menghiasi istirahat mereka.
Tak ketinggalan para pencari rezeki di gang-gang sekolah kembali beraksi abang pentol, penjual es, juga akang martabak, dan entah berapa pedagang lagi yang setia menunggu jam istirahat tiba.
Mereka berharap ramai dikunjungi anak-anak yang sengaja membeli jajanan mereka. Walaupun sekolah ada kantin namun tetap saja para pedagang itu minta izin mangkal di deretan kantin yang ada di sebelah kelas.
"Bu, bolehkah kami mangkal di sini, selama Covid kami tidak berjualan, dan ini satu-satunya penghasilan kami," pinta abang pentol mewakili empat penjual lainnya.Â
Rasanya tidak tega tidak mengizinkannya. Usaha mencari rezeki yang dilakukan untuk keluarga di rumah, menjadi bahan pertimbangan kami, para guru, bahkan mereka juga punya anak usia sekolah.
Lain ladang lain belalang, lain dulu lain sekarang, di tahun delapan puluhan seumuran kami dulu uang jajan hanya sekedarnya yang kuingat diberi sangu Rp 25,- saja. Entahlah uang segitu dulu dapat apa ya, lupa juga.
Namun sekarang semua siswa bisa dipastikan membawa uang jajan berlebih. Memang bervariatif. Tergantung keadaan orang tua. Jika orang tua mampu, uang jajan bisa longgar.
Pernah suatu ketika saya bertanya satu persatu pada siswa yang ada di kelas. Jawaban mereka bervariatif, namun rata-rata mereka mempunyai uang saku lebih dari Rp 5000,- bahkan tak jarang yang Rp 10.000,-. Besaran uang saku jika di desa antara Rp 5000,- sampai Rp10.000,- sudah lumrah.