Melihat fenomena kerumahtanggaan dan seluk-beluk keretakannya serta serentetan masalah yang memicu terjadinya konflik dalam rumah tangga, memang sah-sah saja ada perjanjian pra-nikah, seperti apa bentuk perjanjiannya?
Semua tergantung bagi masing-masing pasangan yang menjalaninya. Jika sudah berkomitmen saling menerima segala bentuk kekurangan maka perjanjian pra nikah cukup dengan ucapan santun tanpa harus bermaterei di atas kertas.
Sebagai orang Jawa yang ada ewuh pakewoh jika harus menanyakan terkait finansial kepada calon pasangan hidup. Saya misalnya, dulu ketika mau menikah hanya beberapa kali bertemu, bahkan tak banyak komunikasi dengan calon suami.
Saya mengetahui suami justru setelah menikah. Misalnya berapa pengahasilan suami. Saya sempat kaget karena penghasilan suami waktu itu hanya Rp 81.000,- di tahun 1994.
Sebagai staf di kantor pemerintahan dengan golongan II , gaji segitu sangatlah kurang. Untungnya dulu ada jatah beras 10 kg perorang, jadi bisa mengurangi beban belanja. Namun untuk jatah lauk pauk saja kadang baru separo tanggal uang sudah menipis, terkadang malah habis.
Waktu itu saya juga sempat bertanya dalam hati, "Lo, kok gaji segini sudah berani menikah ya", he he.
Namun pantaskah seorang calon istri menanyakan kepada calon suami, "Berapa gajimu Mas, atau berapa penghasilanmu Mas". Jika itu ditanyakan sebenarnya sah-sah saja disampaikan, namun kadang hawatir dikira cewek matre. Saya sendiri tidak punya keberanian untuk menanyakan seperti itu.
Komitmen dari menikah adalah saling menerima kekurangan dan menghargai satu dengan yang lain, maka apapun kedudukannya, banyak sedikitnya harta yang dipunyai calon suami jika saling mengerti dan memahami maka hal ini tidaklah menjadi masalah.
Lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya dari pada ada yang ditutup-tutupi. Bahkan ada yang merasa dibohongi, mengaku anak orang kaya namun ternyata hanya penampilan belaka.Â
Dalam agama yang saya anut jika akan menikah maka sebaiknya mengikuti tuntunan Rasul yaitu sesuai dengan hadis Nabi, yang disabdakan: Wanita biasanya dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih agamanya, sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi( H.R Muslim)