Mengapa kekerasan seksual melekat pada diri perempuan? Menjadi pertanyaan yang terus mengiang dalam telingga hati kemudian perlahan-lahan mengkontruksi pola pikir masyarakat bahwa kekerasan seksual dan perempuan ibarat dua sejoli yang begitu lekat, bahkan semakin tahun terus menunjukkan peningkatan. Komite Nasional Anti Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri menyebutkan di tahun 2016 sendiri terdapat 259.150 kasus kekerasan seksual pada perempuan Indonesia, kemudian naik 25 % pada tahun 2017 yaitu mencapai 348.446 kasus. Apa faktor yang menyebabkan kekerasan seksual pada perempun begitu masif?
Mansuor Fakih dalam bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial menyebut kekerasan seksual merupakan satu bentuk dari ketidakadilan gender, selain kekerasan seksual juga sebentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, stereotip dan beban kerja. Apapun itu semuanya termanifestasi pada lima tingkatan, yaitu menjadi keyakinan pada setiap seseorang, rumah tangga, komunitas, kultur masyarakat, hingga pada tingkat negara yang bersifat global. Seperti yang berhasil mengemuka dan mendapat perhatian publik kasus Baiq Nuril Maknun, Agni (nama samaran) dan Anindya Shabrina Prasetiyo.
Komnas Perempuan hari ini juga sedang melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2018 di kota Manado yang berlangsung mulai tanggal 25 November (Hari Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan) hingga tanggal 10 Desember (Hari Hak Asasi Manusia). Kegiatan yang digelar rutin tahunan untuk menyadarkan kita semua begitu maraknya pelanggaran hak asasi terhadap perempuan. Karena banyak kasus pelanggaran berat hak asasi yang tidak dituntaskan, misalnya pasca peristiwa 1965 banyak perempuan dibotaki sampai ditelanjangi untuk mencari logo palu arit di sekitar kemaluannya, lalu di kalangan buruh seorang Marsinah yang diculik lalu dibunuh, juga pemberangusan hak perempuan yang marak terjadi dalam konflik agraria.
Budaya patriarki yang telah memfosil dalam pikiran dan melekat erat pada kultur masyarakat itu mendasarkan pada pemahaman klasikal agama terutama Islam, mirisnya keadaan ini dimanfaatkan kapitalisme global dengan menjadikan perempuan sebagai komoditas atau objek yang dapat menghasilkan nilai lebih. Meminjam kacamata analisa Rini Hartono, pegiat Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini bahwa objektifikasi perempuan bermula dari dari eksploitasi seksual seperti prostitusi, pornografi, sales promo gril (SPG), dan industri hiburan, maupun industri kecantikan yang menggunakan tubuh perempuan untuk memproduksi sekaligus memasarkan berbagai produk. Perselingkuhan patriarki dan kapitalisme selanjutnya melahirkan domestifikasi perempuan, pekerja upah murahan, kapitalisasi pekerjaan domestik semacam pembantu yang tidak dilindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga sebagai konsumen barang mewah meski nilai gunannya hampir tidak ada. Sebegitu mesranya patriarki dengan kapitalisme membuat perempuan rentan pada atmosfer kekerasan seksual. Lalu bagaimana pandangan teologi progresif terhadap perempuan?
Kedudukan perempuan dalam teologi Islam kerap merujuk pada ayat pertama surat An-Nisa yang menerangkan konsep asal usul dan perkembangbiakan manusia, penafsiran klasik terhadap ayat gender tersebut cenderung bias patriarkal sebagaimana pendapat Al-Zamakhsyary dan Al-Alusi yang hampir berdekatan tentang pemaknaan nafs wahidah sebagai Adam, lalu zaujaha sebagai Hawa yang diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk Adam (Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an, 1997). Sedang tokoh kontemporer Amina Wadud menilai konsep tentang penciptaan perempuan dan laki-laki tersebut merupakan ayat-ayat alegoris (mutasyabihat) yang tidak dapat ditentukan secara empiris. Ia menjelaskan dalam bukunya Qur'an and Women mengenai term nafs dan zauj itu bersifat esensial dari setiap orang yaitu laki-laki maupun perempuan. Hanya saja ayat ini menegaskan asal dari seluruh manusia adalah nafs yang satu, yang merupakan bagian dari suatu sistem kesatuan-pasangan, nafs dan zauj-nya.
Quraish Shihab sebagai tokoh Nusantara juga berpandangan bahwa Al-Qur'an menolak pandangan-pandangan yang membedakan antara lelaki dan perempuan dengan menegaskan keduanya berasal dari satu jenis yang sama (Membumikan Al-Qur'an, 1996). Karena yang mampu meninggirendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada Tuhan yang maha esa, maka ajaran Islam yang fundamen adalah persamaan manusia antara lelaki dan perempuan maupun antarbangsa, suku dan keturunan. Menempatkan derajat perempuan dibawah kuasa laki-laki saja tidak diperkenankan Tuhan apalagi melakukan kekerasan seksual terhadapnya, narasi-narasi kekinian dan progresif ini yang berusaha dihilangkan oleh kepentingan pemodal, gunanya untuk memuluskan proyeksi-proyeksi kapital. Pada akhirnya kita berharap pemerintah lebih tegas nan tanggap untuk mencetuskan kebijakan-kebijakan yang mampu melindungi perempuan sebagai pelajar, guru, ibu rumah tangga, buruh maupun sebagai masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H