Mohon tunggu...
Runi
Runi Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Menulis di waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(No Title)

3 Januari 2012   09:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam kesepian, aku berada di tengah hiruk pikuk kota, kerlap-kerlip lampu kendaraan menerpaku, menghanyutkanku dalam rasa hampa. Sekilas terasa betapa tak berartinya diriku. Semua impianku, keinginanku, tak ada satu pun terpenuhi. Semuanya memudar perlahan berjalan seiring dengan bertambahnya umurku.

Malang….!! Pikirku melayang, menyalahkan tuhan yang telah menciptakan dan menakdirkan hidupku. “Aku tidak minta diciptakan!! kenapa tidak kau takdirkan aku seperti yang lain? menikmati hidup mereka yang tanpa harus bersusah payah berangan-angan lebih dahulu…”

Harapanku satu-satunya pun telah hilang. Di saat aku belum bisa memberikan timbal dan kebahagiaan kepadanya. Yang bisa kulakukan hanya menadah, mengeluh padanya… Walau tak ada satu kata menyesal keluar dari bibirnya yang tipis, ku yakin dalam hatinya merana, meratapi takdir anaknya. Hidup ini memang tidak adil. Mereka yang berada di puncaknya, selalu mendapatkan segalanya. Bahkan bagiku mereka terlalu berlebbihan. Tapi mengapa aku? aku selalu berusaha keras, belajar, bekerja sungguh-sungguh, tapi  tak ada yang berubah. Pengakuan pun tak ku dapatkan. Aku ibarat budak yang akan selalu menjadi budak karena sikapku.

Seketika, seorang anak kecil berdiri di hadapanku, menadahkan tangannya yang kecil, dan meminta belas kasih ku. Aku tersenyum meraih saku dompetku yang hanya ada uang Rp 1500,- untuk ongkos pulang pun rasanya tak cukup. Dengan hati-hati, kuberikan uang itu, sedikit menyesal kutanya anak kecil itu. Dimana rumahnya? kenapa selarut ini masih ada di luar rumah? apa dia masih sekolah? Kudengarkan jawaban-jawaban polos darinya, dan kudapati kemalangan dirinya yang lebih dari diriku. Aku mungkin memang hanya seorang pegawai lepas yang tidak jelas. Tapi anak itu…. Dia bahkan masih terlalu dini untuk merasakan peliknya hidup, tanpa sentuhan kasih seorang ibu yang selalu aku dapatkan untuk menguatkan ku, tanpa pendidikan yang akan menunjang kehidupannya kelak, tanpa perhatian yang akan membuatnya tumbuh menjadi sosok yang baik. Perlahan, kudapati impianku berlanjut. Akan kulangkahkan kaki ku walau batu tajam itu menghampar di jalanku.

Ketidak adilan dalam hidup ini akan ku buat sebagai pemecut batinkku agar terus berusaha. Anak itu setidaknya telah membesarkan hatiku, dan memberi impian baru agar aku sukses dan membantu anak sepertinya. Jalan hidupku pasti akan baik……

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun