Kashi Koi, aku bertemu dengannya kemarin, saat aku sedang berjalan mencari pekerjaan. Tidak pernah kuduga aku akan bertemu dengannya lagi. Seorang teman yang baik dan humble. Walaupun dia anak orang berada dan memiliki darah pengusaha keturunan Jepang, dia dapat bergaul dengan siapa saja, termasuk denganku yang termasuk beruntung bisa satu sekolah dengannya dan teman-teman lain karena beasiswa. Yah, kukira dia tidak akan kembali setelah dia pergi ke Negeri Sakura. Perpisahan kami tidak begitu menyenangkan, setidaknya itu lah yang aku kenang. Tapi, sejak kapan dia tahu aku pernah bekerja di perusahaan ternama? Sejak kapan dia kembali ke Indonesia? Apakah dia di Indonesia bersama dengan keluarganya yang lain? Pikiranku melayang memikirkan pertemuanku kemarin dengan Koshi.
Hari ini sudah tiga hari aku menganggur, sukses tanpa ketahuan oleh siapa pun. Aku berharap dengan sangat, minggu ini aku segera mendapatkan panggilan kerja. Apa pun, yang penting aku bekerja. Dan lagi, aku berada di ruangan sepi yang penuh dengan buku-buku dan jaringan wifi gratis. Tekadku sudah bulat, bahwa aku akan tetap memasukan lamaranku via email dan situs pekerjaan. Karena aku masih belum bisa melupakan bagaimana aku tertipu dengan lowongan walk in interview kemarin. Selain itu pun, aku merasa lebih aman dan nyaman di tempat ini. Aku juga membayangkan, begitu sempitnya ibukota, disaat kemarin orang sedang sibuk bekerja di kantor mereka, aku masih bisa bertemu dengan seseorang yang ku kenal. Untungnya orang itu bukan tetangga atau seseorang yang akan menceritakan seesutu kepada ibuku. Untung saja hanya bertemu Koi.
Saat ini, aku berada dilantai 21, duduk dekat jendela yang menampakan pemandangan ibu kota yang penuh dengan gedung modern yang tinggi. Pasti tampak indah bila aku melihatnya dari sini pada malam hari. Laptopku sudah terbuka dari tadi, niatku untuk membuat akun lagi disalah satu web pekerjaan tertunda, karena pikiranku sedang memikirkan hal lainnya. Kecemasanku memang agak berkurang setelah bertemu Koi. Aku tau dia dapat diandalkan, mungkin aku akan dimasukkannya diperusahaan milik keluarganya, atau mungkin ditempat kini sedang bekerja. Aku berharap.
Tanganku masih berada di atas laptop tanpa ada pergerakan. Mataku memperhatikan sekeliling perpustakaan yang masih terasa sepi. Dari arah pintu masuk aku melihat sepasang anak muda jalan berdampingan. Begitu serasi.Â
Aku pernah berada di masa seperti itu dulu. Bukan pacar, tetapi bersama dengan seseorang yang aku hormati, kak Nagai Koi. Bagaimana kabarnya saat ini ya? Karena dia aku jadi suka tempat ini. Mungkin benar pemikiran dia saat itu, tempat ini bisa menjadi tempat yang sangat romantis. Aku bisa melihatnya dari pasangan yang baru saja masuk tadi. Mereka duduk berdampingan, membaca buku berdua dan saling bertulis pesan lewat kertas, entah apa yang mereka bahas dalam kertas itu, tapi mereka saling bertatapan dan saling tersenyum, lalu melanjutkan membaca buku bersama kembali. Aku memang belum sampai tahap itu, tapi setidaknya aku pernah datang kesini dengan seorang pria. Pria yang kalau diingat lagi juga cukup tampan. Ups, apa yang sedang kupikirkan? bukan waktunya untuk memikirkan hal tidak penting. Aku harus fokus untuk mendapatkan pekerjaan.
Aku mulai serius membuka situs pencarian kerja lain yang tersedia, dan mendaftar untuk akun baru, sampai handphoneku bergetar mengejutkan ku. Nomor tidak dikenal, aku harap ini dari perusahaan yang mengundangku interview. Aku mengangkatnya, ternyata itu adalah telepon dari  teman kantor lamaku, menanyakan kenapa aku tidak masuk lagi ke kantor? Aku berpikir mungkin dia memang tulus bertanya. Jadi kujawab dengan sopan bahwa aku sudah resign. Sebut saja namanya Cherie, dia begitu lama menelponku, menanyakan apakah aku sudah mendapatkan kerjaan baru, hingga curhat bahwa dia kini makin dekat dengan Pak Marco pimpinan kami di perusahaan itu. Aku hanya mendengarkan sambil tertawa garing sekali-kali, dan akhirnya dia menutup teleponnya dengan tidak lupa berbasa-basi bahwa tidak akan ada lagi teman curhat saat makan siang nanti. Aku hanya tertawa ringan, "Terserahlah Cherie." Pikirku.
Aku melanjutkan pengisian pembuatan akun baru untuk mencari kerja sambil sesekali memperhatikan sekelilingku, dan tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok pria tinggi yang aku kenal. "Kak Nagai!" pekikku dalam hati. Tatapan kami berpaut. Sepertinya dia masih mengenaliku, dan dia mulai berjalan kearahku sambil tersenyum. Ya Tuhan, aku baru saja memikirkannya, dan kini dia ada disini? aku salah tingkah saat dia tiba di tempat duduk sebelahku dan menarik bangkunya. Aku hanya bisa memperhatikannya tanpa bersuara, tapi dia menoleh kepadaku lagi dan membuatku tambah salah tingkah. Tiba-tiba tanpa suara dia berdiri, dan menarik tanganku memberi isyarat agar aku mengikutinya keluar.
Aku sebenarnya ingin membuka suara, begitu banyak yang ingin aku tanyakan padanya, mulai dari kabar, kapan kembali, dan sesuatu yang bersifat pribadi, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibirku. Jadi aku memilih untuk menuruti  keinginannya keluar dari tempat ini untuk berbincang-bincang.
Kak Nagai, aku pernah menganggapnya sebagai kakakku, karena aku adalah anak tertua dikeluargaku jadi aku mendambakan kakak lelaki yang penuh semangat seperti kak Nagai. Di tengah penyakit Cystic Fibrosis yang dia derita dari semasa kecil, aku pernah mengira kalau dia bengek atau semacamnya, karena suara yang aneh selalu terdengar saat dia bernafas panjang. Kuakui, dia adalah sosok yang sangat kuat, juga sangat pandai memainkan semua jenis alat musik. Tak heran, karena keluarganya pun memiliki usaha dibidang penjualan alat musik ternama di beberapa negara. Kami berpisah saat dia dan Kashi kembali ke Jepang, entahlah saat ini rasanya aku merindukannya.
Kami berdiri di balkon perpustakaan, tempat para pustakawan mungkin saling berbincang-bincang. Kami saling menanyakan kabar masing-masing, kak Nagai pun menceritakan kesibukannya saat ini. Sedangkan aku hanya mendengarkannya sambil melihat wajah dan tubuhnya yang lebih berisi dibanding terakhir kali kami bertemu. Ternyata dia dan Kashi baru 1 minggu berada di ibukota ini lagi. Kashi pun ternyata menceritakan tentang pertemuan singkatnya denganku kemarin. Kak Nagai masih suka terbatuk dan mengeluarkan suara nafas yang agak aneh, tapi aku sudah tidak merasa takut ataupun risih seperti awal kami bertemu dulu.
Aku dulu pernah menyukai Kashi Koi, si blasteran jepang yang penuh semangat. Dia pernah membelaku saat aku sedang dibully karena selalu makan siang di dalam kelas dengan bekal seadanya, intinya teman kaya sekelasku tahu aku bukan anak orang kaya yang nyasar ke sekolah mereka. Dan sejak itu, Kashi menjadi dekat denganku, menghabiskan makan siang yang dibawanya bersamaku. Aku bersyukur, mungkin karena aku pintar, jadi dia dekat denganku, meminjam buku PR ku untuk disalinnya setiap pagi. Tapi, aku tidak keberatan, karena aku saat itu menyukainya. Aku pun pernah diajaknya kerumah keluarganya, dan diperkenalkan dengan kak Nagai ini.Â