Mohon tunggu...
Runi fazalani
Runi fazalani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kawin Lari "Merarik" di Suku Sasak, Lombok

30 Desember 2018   22:05 Diperbarui: 30 Desember 2018   22:14 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pengantin laki-laki harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan perempuan pujaan hatinya bahklan sampai darah penghabisan. Tradisi adat kawin lari "Merarik" pulau Lombok sudah di sakralkan dengan ajaran Isalm seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur paksaan, tapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak, pisuke itu berbentuk uang. Dengan adanya adat itu dapat menjadi pemikiran atau pertimbangan kepada pengantin laki-laki hendak menceraikan istrinya.

Sisi negatif dalam budaya kawin lari "Merarik" di Suku Sasak dapat terlihat di masyarakat Lombok  misalnya, terjadinya perilaku atau sikap yang otoriter oleh suami dalam menentukan keputusan keluarga, berbaginya pekerjaan domestik hanya bagi isteri dan dianggap tabu jika lelaki (suami) Sasak mengerjakan tugas-tugas domestik, perempuan karier juga tetap diharuskan dapat mengerjakan tugas domestik di samping tugas atau pekerjaannya di luar rumah dalam memenuhi ekonomi keluarga (double faurden/peran ganda), terjadinya praktek kawin-cerai yang sangat akut dan dalam kuantitas yang cukup besar di Lombok, terjadinya peluang berpoligami yang lebih besar bagi laki-laki (suami) Sasak dibandingkan lelaki (suami) dari etnis lain, kalau terjadi perkawinan lelaki jajar karang dengan perempuan bangsawan, anaknya tidak boleh menggunakan gelar kebangsawanan (mengikuti garis ayah), tetapi jika terjadi sebaliknya, anak berhak menyandang gelar kebangsawanan ayahnya, nilai perkawinan menjadi ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang pisuke,kalau terjadi perceraian, maka isterilah yang biasanya menyingkir dari rumah tanpa menikmati nafkah selama 'iddah, kecuali dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul,dan jarang dikenal ada pembagian harta bersama, harta biasanya diidentikkan sebagai harta ayah (suami) jika ada harta warisan, sehingga betapa banyak perempuan (mantan isteri) di Sasak yang hidup dari belaian nafkah anaknya karena dianggap sudah tidak memiliki kekayaan lagi.

 Sisi positif dalam proses kawin lari "Merarik" Suku Sasak dapat mempersatukan masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, selain itu semakin mempererat rasa kekeluargaan, memperluas jalinan silaturrahim antara kampung yang satu dengan kampung yang lain, tidak hanya itu kawin lari "Merarik" dapat menimbulkan rasa solidaritas yang kuat antara masyarakat, dan dapat saling menghormati adat istiadat yang di miliki oleh masing-masing kampung, dapat menimbulkan kebahagiaan untuk sepasang suami istri karena menikah dengan orang dia cintai tanpa ada paksaan, dapat mengurangi percekcokan dalam rumah tangga, apabila laki-laki biasa menikahi perempuan karir maka akan lebih dihormati oleh kalangan masyarakat.

Proses kawin lari "Merarik" dalam persepsi gender dapat meninggikan dan menurunkan derajat perempuan. Kawin lari "Merarik" merupakan tradisi masyarakat Suku Sasak sebagai wujud tingginya posisi peran perempuan dalam masyarakat. Dalam proses kawin lari "Merarik" jika pengantin laki-laki meminta izin terlebih dahulu, maka diyakini oleh masyarakat Suku Sasak merupakan bentuk pelecehan terhadap perempuan. Karena yang bisa diminta itu barang atau benda sedangkan perempuan harus didapatkan dengan perjuangan yang luar biasa bahkan tak sedikit yang menumpahkan darah mereka untuk seorang perempuan. Dari sanalah pengantin laki-laki di uji dan dilihat kesungguhannya untuk mendapatkan perempuan pujaan hati mereka karena seorang perempuan memiliki derajat yang tinggi di kalangan masyarakat. Pengantin laki-laki harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan perempuan pujaan hatinya bahklan sampai darah penghabisan. Tradisi adat kawin lari "Merarik" pulau Lombok sudah di sakralkan dengan ajaran Isalm seperti soal pisuke dan nyongkolan. Pisuke sesuai dengan namanya tidak boleh ada unsur paksaan, tapi harus ada kerelaan keluarga kedua belah pihak, pisuke itu berbentuk uang. Dengan adanya adat itu dapat menjadi pemikiran atau pertimbangan kepada pengantin laki-laki hendak menceraikan istrinya.

Hal ini membuktikan bahwa perbedaan atau keberagaman budaya yang ada di Negara Indonesia ini tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk rentannya atau terjadinya sebuah perselisihan yang menimbulkan perpecahan di suatu kelompok dengan kelompok yang lain. Jangan biarkan anugrah berubah menjadi malapetaka. Sebagai generasi penerus kebudayaan yang telah diciptakan oleh nenek moyang, Maka cintai budaya daerah, sekaligus cintai bangsa Indonesia.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun