Menanggapi hari guru membuatku berfikir kembali mengenai potret dunia pendidikan terutama bersunber dari pengalamanku sendiri sebagai peserta didik.Â
Terlintas perjalanan waktu di kepalaku ketika aku diberi hukuman karena berbuat salah, jejak yang terekam mengenai pendidikan wajib sd-sma lantas tidak bisa membuatku sampai mengingat guru yang pernah mengajariku satu persatu.
Pertanyaannya adalah, apakah aku tidak bisa merasakan esensi dari hari guru tersebut ketika aku tidak bisa mengingat namanya atau apakah ada yang salah dari metoda mendidik guruku terdahulu, ataukah sistematika pendidikan yang kudapatkan dahulu membentuk ruang yang mengakibatkan tak tergeraknya hatiku untuk mengingat nama guru.
Difikirkan kembali menurutku persoalan aku tak bisa mengingat terletak dari habitus yang terbentuk dari lingkungan sosial dan keluarga. Pengalamanku sebagai seorang murid dahulu adalah mematuhi instruksinya baik itu di kelas maupun diluar kelas.Â
Hal tersebut juga memengaruhi sikap pasif maupun aktif seorang murid bersumber dari guru yang disukai atau tidak. Pidato pak nadim yang beredar luas itu membuat pertanyaan baru sekaligus tantangan bagi guru2 untuk suatu dinamika akademik yang baru.Â
Pola berfikir kritis yang ingin di ajarkan, mau tidak mau di satu sisi menjadi senjata makan tuan bagi pendidikan itu sendiri.
Apakah dunia pendidikan sudah siap?
Kredibilitas serta integritas pendidik akan mendapat tantangan hebat dari milenial yang cukup intelektual tetapi kurang moral, akhirnya pendidikan tetaplah menjadi kondisi antara dominan dan subordinat ditangan para pendidik konservatif, yabg di dalamnya selalu memunculkan kelas-kelas sosial
Selamat hari guru, maaf jika tak bisa mengingat namamu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI