( selasa, selalu salah )
IDEALISME
Tak ada yang memintanya untuk bercerita, tapi si Ramdani terus saja nyrocos. Gaya bicaranya seperti orang yang ingin memprovokasi. Ada nada memanas-manasi saat Ramdani menceritakan semua kejadian yang bikin perut saya rasanya mual mau muntah gara-gara mendengarkan seluruh ceritanya.
Hari selasa selalu saja ada peristiwa yang salah dan yang sangat menonjol. Selasa ini, tanpa diduga dan dinyana, tiba-tiba saya harus menanggung nasib mendengarkan celotehan Ramdani yang panjangnya nggak ketulungan. Dari ba'da Dzuhur sampai menjelang Magrib.
"Mas tahu sendiri kan? Waktu dia masih klekeran, masih miskin, kayak apa sih dia? Betapa kagumnya kan kita pada ketulusannya, ketekunannya, ketaatannya, kesederhanaannya... Betul-betul iblis dia! Yang bikin saya marah lagi sama dia, tega-teganya... dia memboyong seluruh keluarganya, istri dan anak-anaknya yang dulu, waktu masih miskin, dia gadang-gadang hidup penuh dengan warna ketaatan beragama. Masih ingat kan dia sekeluarga dulu yang sebentar-sebentar nyebut 'subhanallah' 'astagfirullah' 'masya-allah' 'syukron' 'afuan' dan seabreg kata-kata sejenis lainnya. Sekarang memang masih dia nyebut-nyebut kata-kata begituan, sekalipun kelakuannya tak ada bedanya dengan tukang tipu merangkap germo! Astagfirullah... saya jadi lepas kontrol. Saya betul-betul tidak menyangka, di balik mukanya yang inosen itu tersimpan jiwa lacur seperti itu."
Ramdani lalu bercerita dengan sangat emosional tentang praktek-praktek penipuan si dia di kantor. Seluruh data keuangan, kata Ramdani, dia palsukan dan semua teman-temannya dijadikan tumbal di hadapan taukehnya. Nah... Dari hasil itu semua dia terus memperkaya hidupnya. Rumah-rumah mewah. Mobil-mobil mewah. Umroh sekeluarga setahun dua kali.
Ramdani matanya berkaca-kaca saat dia menceritakan, betapa sedihnya dia ketika melihat justru di puncak kebobrokan itu, semakin banyak tokoh-tokoh mengrubungi dia, terpedaya olehnya. Tapi entahlah, apa tokoh itu terpedaya atau mereka semua pura-pura tidak tahu. Kata Ramdani, gerombolan 'orang suci' itu seminggu sekali kumpul di rumah si dia untuk membahas agama. Seorang nara sumber yang terkenal dihadirkan sebagai penceramah. Di atas karpet tebal itulah, kata Ramdani, di ruang tamu yang seperti istana itu mereka semua mengunyah aneka pembahasan agama dan hidangan diringi sajian minuman air zamzam dari poci-poci keramik cina.
"Yang saya lihat, gerombolan 'orang suci' itu memulainya dengan makan-makan di halaman belakang di tepi kolam renang dan di akhiri juga di tepi kolam renang sambil tertawa-tawa makan minum diselingi suara-suara agamis seperti 'subhanallah' 'astagfirullah' 'masya-allah' 'syukron' 'afuan' dan seabreg kata-kata sejenis lainnya. Begitulah yang mereka lakukan sejak si dia terus semakin kaya-raya"
Ramdani sudah lama pulang. Saat ini sudah hampir larut malam. Tapi apa yang dicelotehkan Ramdani rasanya terus terngiang sekalipun sebenarnya bukan hal yang baru kudengar. Sudah berulang kali kenalan menceritakan tentang kondisi yang memprihatinkan ini. Memang demikianlan manusia. Mereka rela menjual apa saja demi merengkuh gemerlap dunia. Tak ada yang baru soal ini sekalipun tetap saja hal ini terasa menyedihkan. Terlebih jika hal itu terjadi pada sahabat, yang telah berulang kali diberi teguran tetapi berulangkali pula mejawabnya dengan nada sombong penuh penghinaan dan meremehkan.
Demikianlah, jika Tuhan menghijab batin manusia, tak ada yang terlihat selain sesuatu yang menyilaukan yang kelak akan menjadi siksa dan penyesalannya yang sangat pedih dalam...
Selasa, selalu salah...
ecn@2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H