Mohon tunggu...
Ruminto
Ruminto Mohon Tunggu... Guru - Back to Nature

Senang membaca dan menulis, menikmati musik pop sweet, nonton film atau drama yang humanistik dan film dokumenter dan senang menikmati alam.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yang Mereka Tahu "Panti Bakti"

3 Juli 2024   07:04 Diperbarui: 3 Juli 2024   12:43 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka itu orang desa dan rakyat biasa. Mereka tak mengenal Panti Jompo, Tapi yang mereka kenal adalah " Panti Bakti ". Itupun tidak terucapkan atau verbalis, melainkan real amalan yang menyatu begitu saja sebagai bagian dari kehidupan dirinya yang harus dilakukannya. Siapakah mereka itu ?

Tak Sebatas Pandang

Ini tetangga baruku, setelah saya pindaaah domisili. Panggilan akrabnya Iroh. Wanita desa tanpa pendidikan formal. Terlahir dalam keadaan hampir tidak bisa melihat. Dunia hanya remang-remang. Konon certanya, dulu ketika masih dalam kandungan ibunya, bapaknya , Pak Suhud namanya gemar mencari belut disawah saat musim hujan. 

Saat itu, dia mendapati banyak, belut, mungkin karena saking asyiknya, dia lupa baca do'a serta " mantra " jawa ; " jabang bayi aja kaget " saat melumpuhkan belut dalam tangkapannya sebelum dimasukan kedalam " kepis ". Dan ketiaka anaknya lahir, kondisinya seperti itu.

Anak Pak suhud banyak, laki-laki dan perempuan, semua tujuh orang. Dan Iroh hanyalah salah satunya saja. Iroh pernah belajar pijat diluar daerah. Kini Iroh sudah berkeluarga dan suami nya tak lebih sempurna dari dirinya, alias tuna netra. Mereka tinggal di Jakarta dan mengankat anak pungut. Setiap tahun pulang kampung, mereka nampak sebagai keluarga yang bahagia walau dengan segala keterbatasan yang ada.

Kini Pak Suhud sudah beranjak masuk usia tua dan sakit-sakitan. Ia tinggal bersama anak bungsunya,laki-laki dan belum berkeluarga. Ketika kesehatannya sudah banyak berkurang, Iroh pulang dengan meninggalkan suami dan anaknya buat sementara waktu, padahal suaminya tuna netra dan anaknyapun masih kanak-kanak. 

Padahal, saudara-saudaranya dikampung juga dekat tempat tinggalnya di desa itu juga,  Soal repot, semua repot. Tapi Iroh rela berkorban, untuk merawat bapaknya itu, dibukanya pintu panti bakti dalam hatinya.walaupun pandangan matanya terbatas sangat, tapi hatinya jauh terbuka luas menembus batas-batas keterbatasan fisiknya untuk ayahnya.

Payung untuk ibunda.

Teman lama beda generasi alias bukan sebaya. Waktu itu aku masih kecil, baru masuk es-de, tahun tujuhpuluhan. Mas Sobirin sudah tamat es-de saat itu, dan  langssung cabut pergi jauh ke Jambi, Sumatra. Orang desa bilang pergi ketanah sebrang, dan waktu itu aku juga belum tahu persis Jambi dimana ? 

Dia pergi karena memang ibunya sudah duluan disana, sebagai wanita desa apalagi ditahun awal-awal tujuhpuluhan atau akhir enmpuluhan, bekerja sebagai pembantu rumah tangga sangat lazim. Ia bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya yang punya usaha pengolahan kayu.

Akhirnya Mas Sobirn jadi orang sana, menetap, berkeluarga dan bekerja disana bersama ibunya. Bapaknya sudah tiada. Selanjutnya taka da lagi cerita sampai waktu yang lama. Sekali dua kali, Mas Birin atau ibunya pernah juga pulang kampung dan pernah juga mengajak saudaranya untuk bekerja disana.

Di sekitar tahun duaribu sepuluh, ibunya Mas Sobirin memutuskan untuk kembali pulang kekampung halamannya di Jawa. Umur sudah tua, sudah lelah bekerja, sebab membanting tulang sejak masih muda belia ia lakukan, saatnya kini untuk berhenti dan istirahat. Di jawa masih ada saudara, dan tanah juga ia masih punya, lalu dibuatlah rumah kecil sederhana sebagai tempat tinggalnya. Sementara itu Mas Sobirin maih menetap di Jambi sana, Bersama anak cucunya, tapi istrinya memang sudah tiada.

Seiring berjalannya waktu, ibunya semakin renta. Kini mengurus dirinya sendiri sudah hampir tak bisa. Maka Mas Birin pun pulang ke Jawa. Memulai hidup baru lagi disini,memberikan payung perlindungan ibunya dihari tua. Dulu waktu muda ia memburu ibunya sampai ke Sumatra, untuk bekerja dan berkeluarga.. Dan kini di hari tua. dia kejar pula ibunya balik ke Jawa. Demi agar bisa merawat sang ibu, dia rela korbankan dirinya. Beberapa tahun setelah ibunya meninggal, ia pun menyusul pulang kealam baka.

Pulang Selayang Pandang

Nenek Ras, dulu rumahnya bersebelahan dengan rumah nenekku. Bahkan suaminya nenek Ras, kakak adik dengan suami nenekku. Jadi aku mengenal dengan dekat nenek Ras ini. 

Cuma, dia katanya punya seorng anak semata wayang anak laki-laki yang pergi belum pernah kembali hingga saat ini. Ia berdomisili di kota lain yang tidak begitu jauh banget sebenarnyaa, karena masih satu propinsi. Aku maih terlalu kecil, mungkin baru lahir,  untuk tahu anaknya nenek Ras ini saat masih tinggal disini dan ketika kemudian pergi. Selain itu rumah kami juga tidak berdekatan .

Perlu diketahui terlebih dulu,bahwa anaknya nenek Ras, namanya Rasiman, pergi bukan karena masalah internal keluarga. Artinya ia pergi secara baik-baik, sebagaimana layaknya orang merantau, bisa karena untuk mencari penghidupan yang lebih baik atau untuk mencari ilmu. Sementara itu nenek Ras, hidup didesa bersama keluarga ponakannya yang ikut menempati rumahnya. Nenek Ras ini dikampung tergolong berada, rumahnya besar dan sawah serta pekarangannya juga lumayan luas,

Sementar itu, anaknya di kota sana, juga sudah berkeluarga pula. Walaupun tidak pernah pulang sejak kepergiannya, tapi hubungan sesungguhnya tidak putus. Kadang-kadang, anaknya Mas Ras atau cucunya Nenek Ras ini, berkunjung juga ke rumah neneknya. Saya pernah berjumpa sekali dua kali sekilas saja waktu kebetulan saya main kerumah nenek, dia juga pas berkunjung kesitu. Jadi mereka tetap berhubungan baik, karena tidak ada masalah inernal kekeluargaan, melainkan masalah eksternal yang berkaitan dengan masalah politis.

Kehidupan nenek Ras dengan keponakannyabaik-baik saja, sampai datang suatu waktu, keponakannya itu meninggal dunia. Cucu-cucu keponakan nya itu juga merantau atau ikut suaminya membangun keluarga baru. Tinggal satu si bungsu anak laki-laki. Sudah barang tentu nenek Ras tidak bisa bersandar banyak padanya. Akhirnya nenek Ras " menumpang " pada saudara jauh untuk tinggal bersama agar ada teman sama-sama orang tua. Secara finansial, nenek Ras ini berkecukupan.

Ketika mendengar orang tuanya seakan terlunta nasibnya, Mas Ras yang berpuluh tahun tak mau pulang, kini dirinya rela pulang untuk mengambil ibunya. Walau hanya pulang  selayang pandang, lalu pergi lagi kembali menghilang. Ia sebenarnya bisa saja menyuruh anaknya untuk mengambilnya mialnya, tapi tidak ! Ia tuntun sendiri ibunya berjalan, ia gamit sendiri lengan ibunya melangkah jalan bersama untuk menempatkan ibunya di " Panti Bakti " dalam kehidupannya.

Hampir tak terbayangkan

Coba kau bayangkan, bila tiba-tiba ada orang pulang mengaku sebagai bapaknya ? Padahal selama ini, tidak pernah ada komunikasi sama sekali. Pendek kata terbayang selintas kilas pun tidak, sosok yang bernama ayah itu ada dan ajaib masih hidup. Sebab waktu itu dirinya masih bayi merah, saat ayahnya pergi. Mata bayinya belum bisa melihat seperti apa wajah ayahnya ?

Itulah yang dialami oleh Ahmadi, tetangga baruku. Ayahnya pergi itu bukan karena diusir oleh istrinya atau mertuanya, tapi justru karena diusir oleh orang tuanya sendiri, karena nakal bermain harta.. kata orang ia pergi ke Sumatra. Itu saja. Selebihnya tak pernah ada kabar beritaanya, ibaratnya ia sudah mati dalam cerita. Sampai waktu yang sangat lama. Karena Ahmadi pun kini sudah lama berkeluarga. Sementar itu ibunya juga sudah tiada. Dan kehidupan pun berjalan lurus-lurus saja dang tenang-tenang saja, taka da apaa-apa yang melanda.

Hinggat tiba suatu hari, tiba-tiba datang seorang lelaki tua, diantar orang kerumahnya dan mengaku sebagai bapaknya. Lantas mesti harus bagaimana ? Salahkah misalnya bila Ahmadi menolaknya ? Dosakah misalnya bila Ahmadi tidak mau mengakuinya ?  Benarkah misalnya bial Ahmadi bangkit emosinya pada orang yang datang mengaku bapaknya sebagai orang yang tak bertanggungjawab ?!

Dan yang lebih membingungkan lagi; kini ia tiba-tiba datang pulang itu mau apa dan untuk apa ?  Mau memohon untuk rela diakui sebagai bapaknya ? Mau memohon untuk bisa dimaafkan keslahan-kesalahannya ? Atau ingin berbagi oleh-oleh harta benda setelah merantaau tak kurang dari 40 tahun lamanya ? Tapi ia pulang hanya membawa badannya saja yang sudah renta.

Ia pulang tanpa kata, tapi keadaan dirinya sudah berbicara. Dan tanpa banyak kata pula, kemudian Ahmadipun juga bisa memahami dan menerima. Aneh !. Panti Bakti itu bisa dibangun didalam hatinya. Padahal, secuilpun ikatan emosi itu taka da. Maka ungkapan ; " tak kenal maka tak sayang ", terpatahkan disini !

Panti Jompo; sebuah catatan

Istilah panti jompo, sebenarnya terdengar " asing " ditelinga orang desa, dan orang biasa. Konsep " sanak kadhang " atau  " sanak saudara " lebih nyata ada ditengah keluarga orang desa dan orang biasa.

Orang yang tinggal di panti jompo, yang pertma karena atas kemauan sendiri. Bila itu yang terjadi, orang itu pasti secara ekonomi kaya, sebab biaya tinggal di panti jompo juga tidak sedikit. Yang kedua, orang itu pasti bukan orang biasa, melainkan orang yang berpendidkan tinggi atau pernah punya kedudukan. 

Bila orang type ini yang tinggal di panti jompo, alasannya karena tidak mau merepotkan sanak saudara atau orang lain. Alasan seperti ini sebenarnya " semu ", sebab di panti jompo ia juga tetap merepotkan orang lain, cuma, sekali lagi cuma, karena dia bayar, kata " merepotkan " jadi hilang terbeli oleh uang.

Dan orang yang tinggal di panti jompo golongan yang kedua, adalah karena kehendak orang lain. Ungkapan kasarnya, ia " dibuang " di panti jompo. Orang lain sebagai pemrakarsa, tentu ia orang yang ilmu ekonominya tinggi, bisnisnya sukses, gaya hidup mental idividualisme ala barat, kental melekat ditubuhnya. Nilai bakti sudah tergerus halus oleh prinsip-prinsip  ekonomi kehidupan.(*)

    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun