Mohon tunggu...
Rumiyati Akana
Rumiyati Akana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komunikasi Aktif Berpuasa untuk Si Kecil

28 Mei 2017   14:38 Diperbarui: 29 Mei 2017   02:37 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ceria meski berpuasa

Memasuki hari kedua bulan ramadhan pada tahun 2017 ini anak saya genap berusia 9 tahun. Puasa terasa begitu lancar tanpa ada rengekan maupun permintaan aneh-aneh keluar dari mulutnya. Semua berjalan seperti sudah berpuasa setahun lamanya. Pada saat hari pertama Tarawih dia dengan sigap menyiapkan keperluanya sendiri dan berangkat kemasjid bersama teman-temannya. Kebetulan masjid berada tidak jauh dari rumah jadi rasa aman selalu menghinggapi hatiku. Pada saat sahur tiba dia sudah membunyikan alarm hpnya dan bangun tepat pada saat alarm tersebut berbunyi. Dia langsung kekamar mandi dan melihat ibunya di dapur. " Apa yang bisa saya bantu ibu ?" pernyataan yang sangat mengejutkanku. Dia anak yang mandiri meski sampai usia 9 tahun belum dikarunia adik, sehingga setiap melihat kerepotan ibunya dia selalu membantu. Perbedaanya adalah ini hari pertama sahur dan dia berkata ingin membantu ??? Ditengah kekagetanku dengan cepat kujawab siapkan piring dan sendok untuk kita bertiga  diruang makan. Diapun segera keruang makan dan menyiapkan sesuai dengan perintah yang kutujukan kepadanya. setelah itu dia membantu membawakan minuman dan sayuran yang sudah siap ke ruang makan. Hatikupun sangat berbunga-bunga perubahan yang sangat luar biasa pada anakku. setelah semua makanan siap, dia segera menuju kamar dan membangunkan ayahnya untuk sahur bersama. Suasana sahur pertama kali ini menjadi syahdu dan langsung saya bercerita panjang lebar kepada ayahnya tentang perubahan pada anak kami. 

Bagi kami yang tinggal dikampung anak-anak sudah terbiasa menjalankan ibadah puasa sejak mereka berusia enam tahun. Beberapa anak-anak ada yang gagal ditengah jalan, ada yang hanya mampu sampai dhuhur, ada yang hanya sampai ashar dan ada juga yang finish sampai tiga puluh hari. Berdasarkan pengalamanku pada awal melatih anak berpuasa di usia lima tahun dengan ikut sahur bersama, dilanjutkan sarapan jam sepuluh pagi, puasa lagi sampai jam dua siang dan ikut buka bersama. Tentunya ini puasa yang terberat buat anakku, karena dia suka sekali makan makanan kecil disela sela waktu istirahatnya. Jadi ketika dia mendengar kata puasa " Ya allah tidak makan, tidak minum...wah bisa mati saya". Dari usia lima tahun saya komunikasikan dengan baik tentang manfaat berpuasa, kenapa kita harus berpuasa. Meskipun semua saya buat realistis lebih saya jelaskan bagaimana dampak kesehatan bagi orang berpuasa. contoh sederhananya saja sepeda motor ayah harus masuk bengkel karena dipakai terus menerus begitu juga tubuh kita harus ada waktu istirahatnya. Nah berpuasa ini menjadi salah satu bagian dari istirahatnya alat-alat ditubuh kita selain tidur. Pada Usia lima tahun di akhir ramadhan anakku bisa berpuasa sampai magrib selama enam hari. 

Usia enam tahun agak lebih mudah karena anakku mulai memahami soal puasa. Harapanya begitu ?  Disekolah teman-temanya sudah berpuasa penuh semuanya. Sepertinya dia masih terlalu berat untuk berpuasa. Disetiap pukul 09.00 -12.00 WIB dia selalu memiliki alasan untuk meminta hal yang tidak jelas. Pada awalnya saya belum terlalu paham. Hanya saya mulai rajin mencari permainan-permainan yang bisa dilakukan anak dan ibu untuk menghilangkan kebosanan. Saya mencoba mengingat mainan-mainan masa kecil mulai dari gobak sodor, lompat tali, bermain peran, dan beberapa permainan lainya. Maka pada awal berpuasa jika jam 09.00 tiba mau tidak mau saya akan menemaninya bermain. Permainan yang paling dia sukai adalah bermain peran. Jadi dia akan bermain menjadi guru dan saya sebagai muridnya. Didalam bermain peran inilah komunikasi kami terjalin dengan baik. Dia mulai tiba-tiba pura-pura pingsan, menjelaskan makanan dan minuman yang enak, serta hampir menangis dan berkata itukan hanya cerita anak-anak. "Hari ini kita kan sedang berpuasa " katanya. Disinilah peran saya untuk menguatkanya dengan mengkomunikasikan kembali mengapa kita harus berpuasa. Tidak sepenuhnya komunikasi berhasil, toh sebagai ibu adakalanya lebih melihat rasa iba yang muncul sehingga kadang tetap gagal juga. 

Kondisi diatas  berjalan terus menerus hingga dia berusia 8 tahun.  Saya akan menyiapkan banyak permainan dan komunikasi aktif untuk menguatkan dia berpuasa. Komunikasi dimulai sejak dia mulai persiapan sahur. Menu sahur selalu saya tanyakan pada saat berbuka puasa dengan catatan merujuk pada bahan-bahan yang sudah ada dirumah. Setelah semua menu tersedia pada saat sahur maka mulai tahapan membangunkanya. Tahapan ini diawali dengan komunikasi yang panjang, mulai dari selamat malam, saatnya sahur, sampai bercerita mimpi apa semalam, dan kadang malas-malasan di kamar. Proses komunikasi ini membutuhkan waktu 5-10 menit sampai akhirnya dia menyerah dan berkata "baiklah ayo sahur". Pada saat sahur makanan hanya dilihat, lalu dibuat mainan dan selalu diiringi perkataan kalau tidak sahur berarti tidak harus berpuasa ya.....begitulah maka kembali lagi peran komunikasi dengan banyak cerita kemana-mana mengantarkanya ikut berpartisipasi sahur. Pada saat dia berada disekolah maka jam kritis hilang karena semua temanya berpuasa. Mereka akan saling menceritakan siapa yang berhasil dan siapa yang gagal. Cerita ini akan dibawa pada saat buka bersama dia menceritakan ternyata hampir semua teman-temanya juga merasakan kesusahan yang luar biasa untuk berpuasa. Meski di usia 8 tahun akhirnya dia menyelesaikan puasa magrib sampai 26 hari. Empat hari sisanya dia mulai panas dan akhirnya saya menyerah juga untuk membiarkan dia tidak berpuasa. 

Perjalanan panjang itu tentunya membawa pengalaman yang paling berharga dalam hidupku. Selama semua dikomunikasikan dengan si kecil secara baik, maka kesusahan yang dia hadapi dalam menjalankan ibadah puasa segera bisa tertangani. Sehingga ketika sekarang di usia 9 tahun dia sudah menyiapkan diri dan berlalu semua proses panjang yang harus saya lalui membuat rasa syukur yang tak terbatas. Hanya soal waktu kapan anak kita akan menguatkan dirinya sendiri tanpa dorongan dari pihak luar. Sebagi ibu hanya bisa menguatkan dan mengkomunikasikan sebaik mungkin supaya dia bisa mengambil keputusanya sendiri. Harapanya adalah puasa bukan menjadi hal yang menakutkan bagi sikecil tapi merupakan kebutuhan hidupnya namun dijalani dengan suka cita. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun