Mohon tunggu...
Rumah Belajar BEM UI
Rumah Belajar BEM UI Mohon Tunggu... Lainnya - -

Rumah Belajar (Rumbel) BEM UI merupakan salah satu program kerja Departemen Sosial Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa UI (BEM UI) yang bergerak di bidang pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kajian Pendidikan dan Kurikulum: Rumbel BEM UI x SNF FEB UI

24 Desember 2020   18:11 Diperbarui: 24 Desember 2020   18:30 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pemberdayaan masyarakat Indonesia dan teramat penting untuk pengembangan diri generasi penerus bangsa. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pemutusan dari sebuah penjamin mutu pendidikan melalui kurikulum, apalagi pasca-reformasi, terdapat intrik-intrik yang mempengaruhi jalan perkembangan dan evolusi pendidikan di negara Indonesia. 

Evolusi yang dialami oleh kurikulum pendidikan Indonesia sendiri sudah melalui berbagai perubahan konseptual hingga teknis dari awal kurikulum 1947 atau Rentjana Pelajaran 1947, dimana perubahan kurikulum pasca pemerintahan Hindia Belanda diganti karena alasan politis dan berbeda dari kepentingan Republik Indonesia. Asas yang digunakan dalam pendidikan Indonesia sendiri adalah dasar negara, yaitu Pancasila. 

Tujuan berikut adalah untuk mengembangkan pemikiran dan kepribadian di dalam masyarakat Indonesia dalam membangun kepribadian yang ideal yaitu merdeka, berdaulat, dan sejajar dengan lingkungan dan pemikiran bangsa menjadi kepentingan utama. 

Melihat paradigma pendidikan menyesuaikan dengan kepentingan bangsa, dan kepentingan bangsa tentu berubah-ubah tergantung dari kepentingan dan kebutuhan pemerintahan yang memimpin, dapat dipastikan kurikulum Indonesia yaitu manifestasi dari penjamin mutu pendidikan masyarakat akan terus berubah-ubah dan mengalami pengembangan. Ini bisa dilihat sejak 70 tahun kita sudah merdeka, kita mengalami perubahan Kurikulum Nasional selama 10 kali sejak kurikulum 1947. 

Dimulai dari Rentjana Pelajaran 1952, Kurikulum 1964, Kurikulum 1968, 1975, 1984, dan 1994 (Orde Baru), lalu Kurikulum Suplemen 1999, hingga mencapai Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), hingga yang paling mendekati saat ini yaitu Kurikulum 2013, dan 2015.

 Tidak heran jika terjadi ketidakselarasan di bidang penerapan dan pengembangan kurikulum pendidikan Indonesia. Perubahan terus menerus terjadi untuk melengkapi kembali kurikulum sebelumnya ataupun untuk merubahnya dari awal. 

Namun, perbandingan dari masing-masing kurikulum tahun ke tahun perlu dianalisa lebih dalam untuk mengetahui kelebihan masing-masing, dan perubahan yang dibawa kepada sistem akademik Indonesia. Dinamika perubahan dari setiap kurikulum pun penting untuk dibahas untuk mengetahui apa saja yang mempengaruhi.

Pasca kemerdekaan, pendidikan menjadi faktor penting untuk diubah oleh para pendiri bangsa karena alasan politis dan sosial. Kurikulum pertama (dinamakan rencana pelajaran karena istilah kurikulum sendiri belum familiar, hingga akhir tahun 1950-an mulai dikenalkan oleh kalangan pendidik lulusan Amerika Serikat) diimplementasi di Indonesia atas dasar pembenahan karakter dan perilaku pribadi masyarakat. 

Kelebihan dari sistem ini cenderung sedikit dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan, namun cukup signifikan untuk membangun nilai-nilai yang dianut oleh Dasar-dasar negara, dan dapat dipraktikan secara langsung oleh murid. 

Kecenderungan untuk menjauhi budaya Intelektual yang diikuti oleh Jepang dan Belanda dapat dibenarkan dikarenakan konteks mereka sebagai bangsa penjajah dimana tujuan mereka memberikan pendidikan bukanlah untuk pembenahan masyarakat, namun bersifat subversif, dan lebih mementingkan efektifitas bisnis untuk lebih mengeksploitasi masyarakat dan SDA Nusantara. 

Dengan mengemban pribadi yang merdeka dan sesuai identitas ketentuan negara Indonesia di pendidikan, maka melepaskan masyarakat dari mengikuti persepsi yang diajarkan oleh Belanda/Jepang, yang memperkuat tradisi feodal terdahulu dan menempatkan posisi mereka di strata teratas.

Rentjana Pendidikan 1952 dan 1964 merupakan pembenahan dari kurikulum 1947 untuk pemfokusan terhadap setiap mata pelajaran dan perincian untuk memenuhi kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan. 

Pemfokusan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional dari mata pelajaran yang diatur dalam rencana pelajaran menjadi salah satu kelebihan yang dapat terlihat, tentu hal tersebut juga dikawal oleh inti awal pengembangan karakter yang dikawal oleh program Pancawardhana. 

Sistem penilaian yang diatur pun dilakukan melalui bentuk ulangan yang sesuai dengan alur waktu pembelajaran secara keseluruhan untuk menentukan kelulusan, yang pada akhirnya akan diakumulasi dan berakhir di Ujian Negara yang diatur sejak tahun 1958, murni untuk menentukan kelulusan. 

Klasifikasi pelajaran-pelajaran yang dinilai di sekolah pun dibagi menjadi lima bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. 

Salah satu kelemahan dari rencana pelajaran 1952 dan 1964 yang bisa dikatakan efeknya masih terlihat sekarang, adalah peserta didik diposisikan menjadi obyek dan bukanlah subyek. Guru dijadikan subyek sentral dalam proses transfer ilmu pengetahuan, mengecilkan peran murid murni sebagai penerima ilmu.

Pengembangan kurikulum selanjutnya pun terjadi hanya empat tahun sejak implementasi sebelumnya, yaitu Kurikulum 1968. Namun perubahan tersebut murni bersifat politis, sekedar mengganti nama dari produk pendidikan yang diterbitkan dan menggambarkan citra kurikulum sebelumnya sebagai proyek Orde lama, untuk kepentingan rezim Orde baru Presiden Suharto. 

Perubahan terbesar hanyalah penggantian fokus dari program Pancawardhana Kurikulum 1964 ke pembinaan Pancasila untuk menciptakan pribadi yang relatif berbeda dari pembinaan sebelumnya. Salah satu perubahan signifikan ialah pemfokusan ke ilmu pengetahuan yang teoritis, disebut pula oleh Djauzak Ahman, Dirpendas periode 1991-1995 bahwa Kurikulum ini "hanya memuat mata pelajaran pokok saja". 

Muatan materi pelajaran bersifat teoritis dan tidak mengaitkan dengan masalah empiris yang diributkan ataupun dipermasalahkan oleh setiap daerah yang memiliki fokus sendiri sendiri dan membina siswa sedemikian rupa untuk kepentingan pemenuhan keterampilan, kecerdasan, dan pengembangan fisik, demikian mengesampingkan mental dan pola pikir masyarakat yang merdeka dan aktif. 

Kurikulum 1975 dan 1984, yang semestinya adalah satu produk yang sama namun pada tahun 1984 lebih disempurnakan, mengutamakan pada tujuan akhir adanya proses pembelajaran, untuk pendidikan yang efektif dan efisien. Sistem penilaian pun diberikan diakhir pelajaran, atau pada akhir pelajaran tertentu. 

Kurikulum 1984 pun menambahkan teknik pembelajaran Management by Objective (MBO) tersebut dengan mengusung model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang berfungsi untuk menjadikan murid sebagai subyek belajar. Model tersebut yang mencoba mengembangkan proses belajar agar murid dapat secara aktif mengamati, mengelompokkan, berdiskusi, hingga akhirnya melaporkan yang mereka dapatkan merupakan langkah yang tepat untuk menciptakan pribadi masyarakat madani untuk Indonesia kedepannya. Untuk menambahkan teknis tersebut, mata pelajaran inti yang berjumlah 8 ditambah menjadi 16 dan mata pelajaran lainnya yang sesuai dengan jurusan pelajaran masing-masing. 

Sangat disayangkan pada akhirnya model yang ideal tersebut mengalami deviasi dan reduksi ketika diimplementasi secara nasional dan banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA ataupun pembagian jurusan yang memiliki deviasi atas topik yang diajarkan. 

Kelebihan yang mampu terlihat adalah penyempurnaan persepsi secara sistemik untuk membenarkan peserta didik di sekolah sebagai subyek yang memiliki persepsi tersendiri, latar belakang ilmu dan pengalaman tersendiri.

Namun terjadi ketidakselarasan penempatan CBSA yang tidak dijadikan kepentingan terpenting untuk Konten Kurikulum itu sendiri, namun hanya ditampilkan sebagai ketrampilan dalam proses yang harus mengacu kembali pada teori. Pada akhirnya meskipun model tersebut mengakomodasi setiap murid secara efektif dan sesuai kaidah, namun secara praktis di berbagai situasi salah sasaran terjadi dari CBSA dan sistem penjurusan yang kian rumit.

 Pengaplikasian perspektif baru pembelajaran pun gagal diselaraskan dan kalah dari Mindset sejak Kurikulum 1952 bahwa guru menjadi Subyek terpenting dan kegagalan implementasi yang efektif.

Kurikulum 1994 yang disimpulkan secara ringkas merupakan hasil upaya memadukan kurikulum 1975 dan 1984 yang mendapatkan banyak kritik atas implementasinya. 

Adapun pemberian atensi kembali di kurikulum ini untuk menjawab permasalahan modal sosial masyarakat agar bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan sosial di Indonesia yang berkelanjutan. 

Penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya pun sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terdapat kelebihan tertentu dari Kurikulum 1994 yang lebih bermaksud sebagai penyempurna dari dua produk pendidikan sebelumnya, namun pada kenyataannya tidak ada perubahan secara prinsipiil antara kurikulum 1994 dan 1984. meskipun menyesuaikan dengan kebutuhan nasional secara menyeluruh. 

Namun, salah satu perubahan signifikan yang dapat terlihat adalah penghapusan mapel Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dalam kurikulum. Konten yang mulai dikerucutkan untuk penyempurnaan ilmu daripada pelaksanaan praktis atas dasar sosial mulai berimbas secara nyata dengan lebih banyak fokus diperhatikan untuk pelajaran IPA dan Matematika, sementara mata pelajaran IPS dikesampingan sebagai mata pelajaran formal dan terpisah dari masyarakat tersendiri. 

Hal ini kerap menjadi masalah yang relevan untuk kondisi saat ini, dimana mata pelajaran Sejarah diwacanakan untuk direduksi dan bukan lagi mata pelajaran inti. 

Hal tersebut dapat menyimpulkan efek jangka panjang dan cenderung negatif dari pelaksanaan kurikulum Orde Baru (1968, 1975, 1984, 1994) tidak menyiapkan generasi kedepannya yang peka terhadap masalah sosial politik dan cenderung dipersiapkan untuk bekerja dan mengabdi pada negara. Ciri tersebut cenderung bersifat subversif dan tidak asing dari tujuan kurikulum pemerintah Hindia Belanda. 

Tujuan dari perubahan dan pengembangan Kurikulum Indonesia pasca pemerintah Orde Baru pun bukan dilihat sebagai proses pembenaran sesuai kebutuhan daerah dan masyarakat, namun untuk kepentingan pemerintah pusat dalam skala nasional.

Penggantian kurikulum pun direduksi menjadi tradisi politik eksekutif Indonesia. Seakan-akan melihat perkembangan secara kehidupan politik, sosial, budaya, ekonomi, keagamaan dan seni, semua harus sesuai dengan kebutuhan Top-Down yang selaras dengan seremoni politik pemerintah setiap 10 tahun sekali. 

Permasalahan yang berakar tersebut pun menciptakan kondisi yang menyebabkan tidak terciptanya pribadi yang teladan dari setiap murid yang lulus dari Kurikulum Orde Baru.

Proses Penyatuan dan penjaga mutu dari tingkat edukasi untuk seluruh populasi setelah Kurikulum Suplemen 1999 pasca runtuhnya pemerintahan Soeharto dapat dilihat dari dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 yang memulai desentralisasi pendidikan pasca reformasi dari kurangnya peran pemerintah pusat. 

Pemerintah pasca reformasi, yang mengembangkan kurikulum sesuai kebutuhan dan menjaga mutu di Indonesia, memberikan peran pemegang otoritas untuk mengembangkan kurikulum ke pemerintah daerah, langkah revolusioner yang mengubah proses pengambilan keputusan atas proses satu jalur pemberlakuan kebijakan Pendidikan. 

Salah satu Inovasi selanjutnya di pendidikan adalah diberlakukannya Kurikulum 2004 yang sudah dirancang sejak tahun 2000. Menciptakan model kurikulum yang mengikuti semangat reformasi pendidikan adalah presiden dari pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang pada akhirnya menempatkan proses yang seharusnya diberlakukan dari CBSA diselaraskan dengan konten kurikulum secara mendasar dan dijadikan patokan utama. 

Mengutamakan partisipasi dan umpan balik dari peserta didik dari seluruh jenjang pendidikan (SD, SMP, SMA, dst.) pada akhirnya akan bertujuan untuk menentukan sistem kurikulum seperti apa yang cocok untuk pengembangan mutu pendidikan Indonesia. 

Kelemahan dari kurikulum 2004 tersendiri adalah kurangnya sosialisasi dan implementasi secara menyeluruh, menyebabkan kurikulum peralihan ini, yang berkunci dari umpan balik peserta didik dan secara esensial, menjadikan mereka kelinci percobaan untuk implementasi kurikulum selanjutnya, kurang inklusif dan belum cukup luas jangkauannya untuk menciptakan sebuah perubahan sosial dari Mindset masyarakat dari situasi zaman Orde Baru ataupun pengembangan karakter yang tujuannya hanya untuk menciptakan peserta didik yang akan menjadi pekerja. Masalah ini pada akhirnya akan berdampak buruk pada implementasi keberlanjutan dari kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan (KTSP)

Keberlanjutannya dalam bentuk penjagaan mutu pendidikan secara nasional pasca-reformasi dalam taraf kompetensi menciptakan sistem yang berdasarkan sistem kompetensi lulusan (SKL) dan standar isi (SI). Isi dari SKL tersebut yang berdasarkan Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar (KD), masih mementingkan kepentingan pengetahuan ilmu masing-masing yang dipelajari daripada kepentingan bangsa, namun berbeda dengan kurikulum sebelumnya, kompetensi tersebut diwakili dan diperbaharui sesuai kebutuhan masing-masing daerah untuk mengembangkan potensi dan memperbaiki dimensi kehidupan masyarakat terkait.

Dalam pemenuhan mutu pendidikan berbasis kebutuhan tersebut, masing-masing sekolah harus menyediakan alat untuk menyelesaikan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi. Pengembangan pada tingkat satuan ini menghasilkan apa yang disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, singkatnya kurikulum yang diberlakukan tahun 2006. 

Secara lahiriah standar kelulusan dan bentuk sistem penjagaan mutu dari Kurikulum 2006 tidaklah jauh dari Kurikulum 2004, namun perubahan yang signifikan terletak pada kewenangan dalam penyusunan silabus, penilaian, dan standar kelulusan berdasarkan daerah dan sekolah masing-masing yang mengacu pada semangat desentralisasi sistem pendidikan.

Kurikulum 2006 pun masih terdapat kekurangan, diantaranya: Konten relatif terlalu padat, kurikulum belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, dan secara holistik belum menggambarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan sesuai kebutuhan domain/daerah. 

Materi dan konten yang dibutuhkan untuk ditambahkan dari Kurikulum 2006 yang berdasarkan dinamika dari kurikulum sebelumnya dan kebutuhan kemajuan bangsa dalam berbagai faktor antara lain adalah; Pendidikan karakter yang menyeluruh; Metodologi pembelajaran aktif; Keseimbangan pembelajaran soft skills dan hard skills; Kewirausahaan dan kemandirian secara ekonomi. 

Kurikulum ini belum bisa diidentifikasi terhadap peka dengan kebutuhan sosial dari masyarakat atas dasar perkembangan zaman, menciptakan situasi urutan pembelajaran yang multi-tafsir, bersifat kacau balau dan beraneka ragam. Hal tersebut berujung ke murid harus mengikuti interpretasi dari guru masing-masing dan pada akhirnya terjebak dalam persepsi guru sebagai subyek dan murid sebagai objek. 

Menciptakan ketidakselarasan atas perkembangan pribadi masyarakat global yang madani, perseptif, dan aktif berkomunikasi. Dibandingkan dengan perkembangan pribadi masyarakat Indonesia yang notabene, terjebak pada persepsi bahwa otoritas sosial terletak pada satu tokoh tertentu, menciptakan situasi pembiasaan terhadap penokohan dan jalan berpikir Appealing to Authority (Menyerahkan diri ke Otoritas/Pemerintah). Kebutuhan dari perbaikan kekurangan Kurikulum KTSP sekejap terpenuhi dari dicoba dibenahinya melalui Kurikulum 2013 yang harapannya mampu melengkapi kekurangan tersebut dengan menekankan penguatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara bersamaan untuk kebutuhan peserta didik.

Kurikulum Tahun 2013 merupakan pembenahan menyeluruh dari KTSP 2006 dengan menitik beratkan penyempurnaan untuk bidang; pola pikir; penguatan tata kelola kurikulum; pedalaman dan penguasaan materi; penguatan proses pembelajaran; dan penyesuaian beban belajar untuk menjamin kesamaan antara apa yang menjadi tujuan dan visi dari proses pembelajaran. 

Hal tersebut menurut Imam Machali dan Ara Hidayat,  dapat diinterpretasi sebagai langkah yang mementingkan konteks dan mempertimbangkan dinamika dari globalisasi dan permasalahan sosial yang kunjung menjadi semakin kompleks sesuai perkembangan zaman. 

Dalam Kurtilas (Kurikulum 2013) tersendiri, bentuk implementasi dalam pengembangan kepribadian siswa dan pembenahan sikap ialah melalui program KI-1 (Sikap Spiritual), KI-2 (Sikap Sosial), KI-3 (Pengetahuan), dan KI-4 (Keterampilan). 

Menciptakan aspek-aspek untuk mengontrol laju perkembangan zaman agar masyarakat Indonesia, untuk saat ini dan masa depan, mampu berkompetisi dan bertahan hidup di lingkungan global yang sudah terkoneksi satu dengan yang lain. Mengembangkan kurikulum yang kemudian menjawab berbagai aspek dengan menyeluruh, yang diwakili oleh Kurtilas, maka menjadi langkah yang mendukung penyelesaian berbagai kebutuhan di masyarakat, begitu juga masalah sosial yang tercipta darinya. 

Namun beberapa hal harus diperhatikan terkait implementasi Kurtilas itu sendiri, dimana dikarenakan kurun waktunya yang cukup cepat, dan tidak selarasnya waktu implementasi maupun sosialisasi secara besar-besaran atas Kurikulum baru yang bersifat mereformasi struktur kependidikan sebelumnya, bisa diantisipasi bahwa prosesnya akan relatif kacau dan salah sasaran. 

Hal tersebut pun sesuai dengan kenyataan di lapangan, yang pada akhirnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat iut, Anies Baswedan, memutuskan untuk tidak mengimplementasi dan menggunakan Kurikulum 2013 sebagai landasan untuk pendidikan di Indonesia, dan kembali menggunakan KTSP 2006 untuk kedepannya.

Kurikulum Indonesia sudah berevolusi sedemikian rupa dari bentuk ke bentuk, konsep ke konsep, hingga konten ke konten yang dibahas, dan salah satu aspek penting yang menjadi penyebab pergantian tersebut adalah dari dinamika sosial-politiknya, menyimpulkan suatu hal bahwa Kurikulum merupakan produk konstruksi sosial. Salah satu pepatah yang terkenal dari dinamika sosial-politik pendidikan adalah istilah "ganti menteri, ganti kurikulum" yang menggambarkan bahwa dibalik pergantian kurikulum selalu terjadi kontestasi kekuasaan (Tilaar, 2003:55). 

Kontestasi yang dimaksud adalah bentuk pertarungan berbagai pihak berkepentingan atas produk pendidikan Indonesia dari berbagai agen yang bertindak di dalam pemerintah maupun masyarakat itu sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian dari Maryanto, dkk. (2017), bahwa politik mempengaruhi revitalisasi kurikulum. 

Poin yang dapat digarisbawahi adalah riset dari Nir dan Kafle (2011) bahwa stabilitas politik mempengaruhi pendidikan sebagai faktor utama, dan merupakan salah satu alasan untuk suatu pemerintahan mendukung produk kurikulum yang digodok sendiri dibanding pemerintahan sebelumnya (yang mungkin diusung oleh partai atau pihak lain).

Riset studi Ijaduola (2012) menyebutkan terdapat hubungan kausal antara pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas rezim, dan timbal balik yang terjadi antara politik dan pendidikan mensyaratkan bahwa orang-orang berkepentingan mengerahkan upaya didalam sistem pemerintahan untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya di masyarakat sesuai dengan perspektif yang mereka anggap menguntungkan rakyat.

Dalam memahami dinamika Kurikulum, Pierre Bourdieu, seorang sosiolog sekaligus filsuf asal Perancis, menyatakan bahwa sekolah hanyalah ruang terciptanya reproduksi sosial dan ekonomi. 

Tesisnya menyebutkan bahwa dinamika yang terdapat di sekolah diproduksi oleh kurikulum yang membangunnya. Kurikulum tersendiri dapat dilogikakan sebagai hilir dari dinamika sosial kemasyarakatan dan amat penting bagi pihak berkepentingan untuk mempraktikkan dan mendominasi masyarakat. 

Secara spesifik paham ekonomi, politik, dan nilai-nilai budaya di masyarakat. Kurikulum, dari situ dapat diinterpretasi sebagai arena pertarungan kekuasaan melalui agen-agen yang bertindak didalamnya.

 Bourdieu mengenalkan situasi ini dengan konsep field, yang mengacu bahwa produk pendidikan adalah ranah daripada kekuasaan itu sendiri. Dapat diambil benang merah bahwa kurikulum merupakan tempat dimana pelaku sosial yang memiliki kepentingan dan tentu saja kekuasaan di ranah pemerintahan bertarung menggunakan kapital yang dipunya untuk meraih dominasi politik di pendidikan guna mereproduksi paham sosial dan budaya-budaya yang dianggap "menguntungkan rakyat" dari perspektif yang subyektif. 

Dapat dipastikan ketika pemerintah, sebagaimana institusi yang mengoperasionalkan kekuasaannya, tengah mengatur pendidikan melalui kebijakan kurikulum, tidak bisa dilepaskan sedang berkontestasi pula dengan aktor lain, layaknya oposisi. Ketika pihak oposisi mengambil kekuasaan dari pemerintah terdahulu, maka tanpa terkecuali akan terjadi restrukturisasi terhadap produk kurikulum sebelumnya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari berjalannya dinamika kurikulum sejak pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi saat ini, adalah sebagai berikut; Politik secara murni tidak bisa dipisahkan dari kepentingan Pendidikan; Aspek Sosial mengatur produk Pendidikan (Kurikulum) dari tiap zamannya namun memiliki kecenderungan untuk dimiliki pihak berkuasa; Kegagalan yang dialami oleh produk kurikulum murni terjadi karena kurikulum merupakan kontestasi antara banyak pihak untuk menciptakan reproduksi sosial dan ekonomi suatu masyarakat.

Kajian mendalam terkait permasalahan dan dinamika sosial-politik dari pergantian kurikulum pun menjawab seberapa kompleks masalah yang dihadapi oleh Indonesia sendiri. 

Bergantung pada administrasi setiap periode pemerintahan, produk kurikulum yang dikawal oleh setiap menteri pun terus berganti. Contohnya ialah setiap menteri membawa kepentingan yang terlihat seperti misi mencerdaskan bangsa, meneruskan intelektualisme negara, dan membangun pribadi yang teladan dari peserta didik dari situ terdapat pula kepentingan kasat mata seperti transaksi politik, visi perubahan norma dan nilai sosial yang berkepanjangan, dominasi dan perubahan ataupun penyempurnaan hegemoni politik dan nilai budaya yang dianut. 

Dapat dipastikan bahwa perubahan kurikulum pun akan terus menjadi perdebatan di dalam intrik politik domestik, namun hal tersebut, meskipun terelakan dari realita, haruslah dibenahi sedikit demi sedikit. 

Proses yang dilakukan amatlah sulit melihat hegemoni praktis yang secara teknis sudah melekat ke politik praktis negara Indonesia, namun untuk pengembangan pendidikan yang lebih baik untuk generasi kedepan, diperlukan standardisasi dan pembenahan patokan kurikulum yang ditetapkan melalui produk hukum dalam bentuk Undang-Undang maupun Perpres atau PP untuk kedepannya agar pemerintah memusatkan perhatian dengan menyesuaikan kebutuhan perkembangan masyarakat dan pola pikir yang kontekstual menurut zaman atas isu-isu sosial kemasyarakatan yang akan lebih berdampak ke masyarakat.

Daftar Pustaka

Alhamuddin (2014). "Sejarah Kurikulum di Indonesia (Studi Analisis Kebijakan Pengembangan Kurikulum)". Nur El-Islam, 1(2), 48-58.

Bourdieu, Pierre, (1977). Cultural Capital and Social reproduction dalam Karabel, Jerome dan A.H. Halsey (1977). (ed). Power and Ideology in Education. New York; Oxford University Press. 

Bourdieu, Pierre, (1993). The Field of Cultural Production. Cambridge: Polity Press

Fadillah, Noer (2019). "Politik dan Sistem Pendidikan Nasional: Pengaruh Politik Terhadap Implementasi Kurikulum Di Indonesia". Publikasi Ilmiah, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 1-15

Hidayat, Rachmat (2011). Perspektif Sosiologi tentang Kurikulum. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 17(2), 178-189

Ijaduola, K.O., Odunaike, K.O., Ajayi, V.B. 2012. "The Interplay between Politics and Education in Nigeria: Any Symbiotic Relationship?'.Journal of Education and Practice, 3(9), pp. 124-129

Maryanto, Khoiriyah, N., Saputro, S.P. (2017). "The Law Politics in Indonesia's Pancasila and Citizenship Education Curriculum Revitalization of 2013". Asian Social Science, 13(9), pp. 167-173.

McClaren, Peter (1995), Critical Pedagogy and Predatory Culture;Oppositional Politics in Postmodern Era, London: Routledge.

Nir, A.E. dan Kafle, B.S. 2011. "The effect of political stability on public education quality". International Journal of Educational Management, Vol. 27 No. 2, 2013, pp. 110-126

Ritonga, Maimuna (2020). "Politik dan Dinamika Kebijakan Perubahan Kurikulum Pendidikan di Indonesia Hingga Masa Reformasi". Bina Gogik, 5(2), p-ISSN: 2355-3774, 88-102

Tilaar, H.A.R (2003). Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural, Magelang: IndonesiaTera.

Uce, Loeziana (2016) "Realitas Aktual Praktis Kurikulum: Analisis terhadap KBK, KTSP dan Kurikulum 2013". Jurnal Ilmiah Didaktika, 16(2).

Hasan, Said Hamid (2019). Arah dan Perubahan Kurikulum Di Indonesia: Suatu Tinjauan Historis. Artikel Dosen. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Departemen Pendidikan Sejarah. 30 Juni 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun