Mohon tunggu...
Rumail Segaf
Rumail Segaf Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku hadir dalam kata. Kata yang tidak akan pernah kamu temukan dalam kamus mana pun. Kata yang tidak akan kamu dapati maknanya dalam bahasa apa pun.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Konsep Leterljik

26 Oktober 2011   22:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:28 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

"Pertama kali yang perlu dikatakan adalah bahwa pandangan keagamaan yang formalistis telah terlalu mendomonir pola pemahaman umat tentang "islam" selama ini. Cukup banyak indikasi yang menegaskan agama lebih dihayati sebagai identitas formal yang harus dicantumkan". (Kutipan tesis Masdar Farid Mas'ud dalam Agama Keadilan; Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hal. 10)

Histori a-Formalistis
Masih dalam masa itu, dengan argumen yang habis-habisan, dalam tesis di kitabnya ihya ulumuddin, Hujjatul Islam Al-Ghozali berusaha dengan keras memberikan tradisi baru kepada orang-orang bahwa ada pembahasan menembus tradisi kulit atas isi (tradisi-tradisi syara' yang formalistis) dan menegaskan adanya korelasi fungsional antara amaliyah keagamaan dengan mutu akhlak pelakunya.

Diawalai sekitar abad ke-3 H. (abad ke-9 M.), baik awam maupun kaum elite-nya, islam, pada waktu itu, cenderung tidak lagi mengesahkan se-tiap upaya re-elaborasi ajaran-ajaran kegamaan yang diimani. Tugas umat pada waktu itu hanya dekodifikasi dan penghafalan sebisanya, dan diatas semua itu adalah mengamalkan menu-rut sistematika dan konsepsi-konsepsi pandahulunya yang lolos kualifikasi tertentu yang, konon, tak mampu dicapai hingga orang-orang masa se-karang.

Maksud dari praktek ini adalah agar islam, agama yang kita anut, masih te-tap murni dan bersih, tetap pada asas-nya, konsisten, dan tidak berubah dari aslinya. Dengan fakta yang sedemikian, beginilah miniatur umat pada waktu lam-pau; ketika harus mengikuti hasil elaborasi pendahulu dengan kepasrahan dan keta-atan yang nyaris tak bertepi. Selama 12 abad lebih, kurang lebihnya.

Bukannya hal ini tak ada yang me-reflek. Masih dalam masa itu, dengan argumen yang habis-habisan, dalam tesis di kitabnya ihya ulumuddin, Hujjatul Islam Al-Ghozali berusaha dengan keras memberikan tradisi baru kepada orang-orang bahwa ada pembahasan menembus tradisi kulit atas isi (tradisi-tradisi syara' yang formalistis) dan menegaskan adanya korelasi fungsional antara amaliyah keagamaan dengan mutu akhlak pelakunya. Dari latar belakang kian maraknya penerjemahan ilmu logika dan literatur Yunani waktu itu ke dalam khazanah islam, imam Al-Ghozali secara filosifis memberi sumbangsih lewat nalar epitemik agama.

Disusul di permulaan abad ke-20, gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh pioner pem-baharu terkenal dan cendekiawan asal Mesir Syekh Muhammad Abduh (w. 1323 H./1905 M.) dengan paham puritan-nya. Gerakan yang secara teologis memberikan angin segar bagi penggiat "berfikir" lewat pembaruan dalam bidang pemi-kiran islam (Islamic Thought) atas landasan kera-ngka keimanan puritanistik ala Wahabi.
Akan tetapi berbeda dengan para pen-dahulunya, Syekh Abduh mengambil langkah yang lebih strategis dan konkrit dengan me-nerapkan pemurnian pada bidang pendidikan. Maksud wacana ini adalah untuk menghilangkan kemandekan umat dalam memahami agamanya, yang selama berabad-abad tetap jumud karena praktek yang berlebihan lewat reinterpretasi dan dekodifikasi karangan ulama klasik dengan patuh yang menimbulkan efek involusi, dan ekspansi yang notabene kedua-duanya adalah negasi bagi islam. Akal perlu digunakan fungsinya secara le-bih, disamping kelemahannya agar tunduk ke-pada nash secara kritis dan selektif.

Lantas diikuti gerakan islamisasi pengetahuan yang disiarkan oleh Ismail Raji Al-farugi dari International Institute of Islamic Thought di Amerika Serikat menjelang 1980-an, mencapai momennya bagi kalangan intelektual dari kaum sarjana muslim. Inti dari pemahamam ini tidak lain agar umat tidak terlalu terlena dengan pengetahuan dan dengan sukarela meng-embalikannya pada sumber pusat ajaran; tauhid. Meminjam istilah keren-nya, gerakan ini adalah hubungan dialek untuk mengembalikan konteks ke teks (baca: Quran dan Sunna).

Ada yang perlu dicamkan dalam paradigma berfikir tiap orang agar tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga konsekuensi logis dari pandangan tersebut adalah; definisi kebenaran terbias oleh pengaruh kemajuan-kemajuan yang disak-sikannya.

Konsep semacam ini bukan tak memunculkan kritik dan argumen tandingan. Retorika yang dipakai adalah kebudayaan masih-lah tergolong mua-malah yang dimana "semua boleh sela-ma tidak ada nash yang melarang" juga masih bisa dima-sukkan. Masalahnya, pengetahuan juga ke-budayaan. Hanya ketika pengetahuan terlalu ge-tol dija-dikan blue-print dan melampaui batas-batasnya maka le-paslah dirinya dari muamalah. Jadi, bu-kan ilmunya yang perlu di-islamkan, akan tetapi niat ilmuwannya sendiri yang perlu di-islamisasikan.

Lalu di susul rekomendasi dari kaum intelektual muslim yang lain agar perlu dicanangkan kontektualisasi lewat jargon islam kontekstual oleh Munawir Sjadzali yang ketika itu masih menjabat sebagai menteri agama RI.Wawasan ini menerangkan adanya demistifikasi atas agenda mistik kenyataan yang semula dipahami sebagai hilangnya konteks sebagai kenyataan. Agama kehilangan kontaknya dengan kenyataan, realita, fakta empiriknya, dengan aktualitas, dan dengan kehidupan. Jadi, waktu itu adalah antitesis bagi ideologi umat yang jauh-jauh abad telah dicekoki doktrin bahwa; dengan keunggulan apriori Allah yang terjamin, islam, dengan tema-tema for-malistis-normativenya akan mengatasi ketim-pangan yang ada di tataran empiriknya dengan kemampuannya sendiri. Tidak mungkin Tuhan memproklamirkan islam sebagai agama palilng unggul tanpa disertai pembuktian nyata atas ke-unggulannya. Inilah gerakan fatalis ala Jabariyah.

Kebenaran dan Kemajuan
Ada yang perlu dicamkan dalam paradigma berfikir tiap orang agar tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kemajuan, sehingga konsekuensi logis dari pandangan tersebut adalah; defi-nisi kebenaran ter-bias oleh pengaruh kema-juan-kemajuan yang disak-sikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun