Kiyai Fattah itu sosok yang alim, enerjik, disiplin, dan sangat perhatian pada santri. Demikian menurut penuturan Gus Dur, kiyai Masruri Mughni (Brebes), kiyai Djamaluddin Ahmad (Jombang), kiyai Yusuf Mashar (Lamongan), kiyai Nur Cholis Baqir (Probolinggo), dan beberapa santrinya yang lain. Setiap jam 3 malam, beliau keliling kamar-kamar untuk membangunkan para santri. Satu persatu. Dengan berpakaian dinas (sarung baju, surban, dan menyelempangkan sajadah) dikeilinginya semuagotha’an. Tangan kirinya memegang gayung yang berisi air. Sampai gotha’an terakhir, sang kiyai balik lagi. Satu dua santri ada yang mbalelo, tak kunjung bangun. Kadang juga jengkel atas ulah santri-santri mbalelo ini. Segera diambilnya air wudlu -untuk mengatasi amarahnya- kemudian melanjutkan “peran ibu” terhadap anak didiknya. Waktu shubuh, beliau berjama’ah dengan para santrinya. Dilanjutkan dengan pengajian. Disusul kemudian pada jam 07.00 pagi, kegiatan rutin mengajar di Madrasah Mua’llimin-Mu’allimat. Sebelum jam pelajaran dimulai, beliau sudah datang di Madrasah untuk mengontrol sarana madrasah, sekaligus mengabsen kedatangan para guru. Jangan sampai ada yang terlambat. Diluar itu beliau terjun ke desa-desa. Memberi pengajian rutin seminggu sekali. Jadwalnya juga cukup padat. Setiap hari ada jam untuk membina masyarakat di pedesaan. Walau hari hujan, beliau tidak pernah absen. Pendek kata, semua waktu dan tenaganya dicurahkan untuk umat. “ini memang menjadi ciri khas kiyai,” kata Drs. Saifullah Yusuf. “Saking perhatiannya terhadap santri dan umat, sampai lupa anak istri, sehingga kiyai kawin lagi,” sambungnya disambut gerrrrr para hadirin. “Tapi kiyai Fattah bukan termasuk tipe yang ini !” buru-buru ia menambahkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H