Alkisah, pasca jamuan terong gosong yang nggojos, Gus Nurul amat kebelet merokok tapi tak menemukan korek api. Maka beliau pun ngeluruk ke dapur pondok, mengggantungkan harapan pada sisa-sisa bara di perapian dapur. Dasar nasib, perapian nyaris dingin. Tumpukan abu kayu menggunung. Tapi gulita dapur itu menajamkan titik nyala pada sepotong kayu yang mengarang di timbunan abu. Khawatir nyala yang hanya setitik itu padam pula, Gus Nurul pun menyerbu sepenuh hati, meniupi bara itu dengan segenap ababnya, tak perduli abu mabul-mabulmeraupi mukanya! Benarlah kiranya, kalau nasib terlanjur tak tahu diuntung, percuma saja menyalahkan bunda mengandung. Gus Nurul gagal. Bukannya membesar, titik bara itu justru padam oleh tiupannya. Entah karena terlampau kecil, atau tertimpa ludah yang tanpa permisi ikut muncrat bersama ababnya. Tapi keberuntungannya belum sepenuhnya padam. Kebetulan ada orang datang hendak masak. Dengan rokok terselip di bibir, Gus Nurul menjemputnya, “Pffinjmm kereknye, Keng...” Baik hati, orang itu menyalakan koreknya ke ujung rokok Gus Nurul. Apa yang terjadi? Begitu sinar berpendar didekat muka Gus Nurul, orang itu sontak menjerit dan ngibritlintang-pukang! Gus Nurul yang kaget luar biasa tak sempat berpikir selain ikutnggenthirit menyusul orang itu, yang makin kencang larinya. Hanya gagasan mengerikan yang mencekam benaknya: “Pasti ada hantu si belakangku!” Terengah-engah di gothakan, Gus Nurul menangkap bayangannya sendiri di cermin. Putih abu kayu nemblok-nemblok nyaris memenuhi mukanya, membikin rona mengerikan diatas legam kulit aslinya! Barulah ia sadar, rupanya hantunya tadi dia sendiri! Pada malam Jumat Kliwon yang lain di sumur Komplek J Pondok Krapyak Yogya, Rustamhari kencing. Sumur itu dipagari dinding dengan pintu masuk yang tak ada daun pintunya. Sesudah cebok, Rustam meneruskan berwudlu. Kain sarung yang tadinya diangkat ke perut kemudian hanya dikempit didepan saja. Maka, bayangkanlah gambaran ini: Rustamhari berbadan cukup gempal dengan banyak porsi daging menumpuk di pantat. Ketika ia membungkuk untuk membasuh muka dari timba, pantat jumbonya yang terbuka sudah pasti mendominasi pemandangan jika dilihat dari belakang! Tepat saat itu, Mustopa, santri yunior yang baru kelas satu Tsanawiyah, kebelet kencing juga dan tergesa-gesa mendatangi sumur. Di pintu sumur itulah ia disambut sepasang pantat mengerikan yang tampak mengancam seolah hendak menerkam! Mustopa kontan menjerit ketakutan dan lari sipat-kuping hingga ompolnya berceceran kemana-mana! Maka lahirlah sebuah legenda abadi di Komplek kami: “Legenda Bokong Horror”! Di Jawa memang banyak legenda tentang hantu. Pada umumnya orang menganggap legenda-legenda itu berakar pada budaya tradisional Jawa kuno. Tapi tidaklah tepat jika gagasan-gagasan tentang hantu itu sepenuhnya dinisbatkan kepada tradisi Hindhu-Buddha. Doktor Agus Sunyoto, ahli Antropoligi Sejarah dari Universitas Brawijaya, Malang, menemukan fakta bahwa banyak legenda hantu Jawa sebenarnya diimpor dari Campa, bersamaan dengan datangnya para pionir Islam dari sana –diantara mereka adalah “guru asal” kita, yaitu Kanjeng Raden Rahmatullah alias Kanjeng Sunan Ampel radliyallahu ‘anh. “Hantu pocong, misalnya, tidak mungkin berakar pada kepercayaan Hindhu-Buddha!” kata Pak Agus, “kepercayaan Buddha meyakini bahwa orang mati langsung berreinkarnasi. Kepercayaan Hindhu bahkan mengharuskan mayat dikremasi. Ajaran Islam-lah yang mewajibkan mayat dikafani”. “Jadi”, Pak Agus menyimpulkan, “kalau ada hantu pocong, pastilah mayatnya itumayat muslim!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H