Semilir angin menerbangkan ujung jilbabku kekiri dan kekanan. Duduk di depan kendali mio yang kecepatannya lebih dari 80 km/jam memang jarang ku lakukan, tapi kali ini aku melakoninya bahkan tanpa helm di kepalaku. Sengaja kususuri pinggiran kota agar tak berjumpa dengan aparat berseragam coklat, karena enggan rasanya tertimpa tangga setelah jatuh dengan permasalahan berat yang kini menimpaku.
Sayup-sayup suara mama siang tadi masih menggema di telingaku, "Mama cape Balqis, apa kamu pikir apa yang tengah menimpamu kali ini tidak memberatkan pikiran mama ? Hmm ?" Sambil menahan sesak, wanita setengah baya itu meremas tanganku dengan geram. Tak pernah kulihat beliau sekesal itu padaku. Ya, kali ini aku memang trouble maker dalam hidupnya. Betapa tidak, aku tak menuruti sarannya untuk menikah dengan lelaki pilihannya saat aku terkulai lemah di ranjang pesakitan karena kista ovarium yang terlanjur membengkak di rahimku. Aku katakan pada beliau dan seluruh keluargaku, I have a boy friend and I'll get married with him anything will do. Papa menamparku saat itu juga, "Jangan memaksakan kehendak Tuhan dengan seenak perutmu Balqis! Dokter memang menyarankan menikah untuk kesembuhanmu, tapi papa tak senang dengan laki-laki yang solatnya bolong-bolong dan tak punya etika itu. Papa ingin punya menantu yang soleh, minimal yang solatnya benar dan bisa membimbing kamu. "
Aku tak terima, "Papa tahu apa, aku yang selama tiga tahun ini dekat dengan dia. Solatnya lancar, dan prilakunya juga sopan. Lagipula cuma Rangga yang mengerti keadaan Balqis saat ini Pa, Rangga tahu penyakit Balqis. Apa papa bisa menemukan orang sebaik Rangga yang menerima semua kekurangan-kekurangan Balqis. Apa papa bisa yakin orang pilihan papa itu bisa buat Balqis bahagia ?" Ada segurat kekecewaan diraut wajah papa saat mendengar semua ocehanku. Matanya berkaca dan aku baru sadar, aku telah membuat luka di hati papa. Tapi, cinta tak mengenal logika. Makanya banyak yang bilang cinta itu buta, dan aku tengah di butakannya. Walau ku tahu telah durhaka, tapi tetap saja tak peduli.
Saat itu juga aku pergi ke rumah Rangga yang memang letaknya tak jauh dari rumahku. Disana keadaan berbalik 180 derajat. Laki-laki pilihan yang selama ini menemani hari-hari ku itu menolak ajakanku menyambangi rumah untuk bertemu dengan papa dan mamaku. Alasannya tak bisa kuterima, ia bilang orang tuanya tak suka anaknya di peralat untuk kesembuhan orang lain. Aku menemui mamanya dan kutanyakan kebenaran kata-kata Rangga barusan. Dan wanita gempal itu mengiyakannya bahkan dengan sengaja menambahkan, "Apa kamu terlanjur hamil hingga minta pertanggungjawaban Rangga ? Harusnya kamu mikir dong, Rangga itu masih kuliah punya apa dia untuk membiayai kamu. Mau minta ke kami terus ? Hmmm ?"
Bagai disambar petir di siang hari aku limbung mendengarnya. Sengatan tajam dari bibir orang tua itu menghujam jantungku. Aku memang tak berkata apa-apa sampai kaki ini berbalik dan melangkah pulang, tapi hati ini merangkai janji untuk tidak datang lagi ke tempat itu. Aku pun menyumpah nyerapahi mereka dengan umpatan khas kebun binatang dalam hati. Ya, aku memang hanya berani mengatakannya dalam hati. Hingga mio-ku sampai di halaman rumahku, aku masih membanjiri pipiku dengan air mata sambil mengumpat kesal.
"Ada apa Balqis ?" Mama menghampiriku yang langsung terkulai lemas di kursi ruang tamu. "Balqis mau operasi saja ma, Balqis sakit dan tak ingin menikah dengan siapapun." Mendengar jawabanku, papa yang sedari tadi di dalam kamar keluar. Jika tak di halangi mama dengan kedipan isyaratnya, mungkin kali ini papa juga akan memaki dengan cacian kasar, terlebih mengingat kelakuanku sebelum pergi ke rumah Rangga tadi. Tapi, lelaki bijak itu lebih memilih untuk mendekapku dan memebenamkan kepalaku di dadanya yang sudah tak sekekar dulu. "Kita lakukan esok, nanti malam papa telepon dokter Bahana untuk buat janji pengangkatan kistanya." Terimakasih pa... Suara itu tertahan di tenggorokanku.
Dua minggu kemudian...
Aku menatap layar laptop miniku dengan seksama, sebuah email berisi lampiran "Proposal Nikah" mendarat di akun pribadiku. Aku tak begitu mengenal si pengirimnya, hanya saja selain melampirkan data dirinya, si pengirim rupanya sudah lama menjadi temanku di jejaring sosial yang aku gunakan, sehingga ia berani mengatakan telah mengenalku sebelumnya. Aku tak ingat, yang mana akunnya bahkan aku tak yakin pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya seperti yang ia tulis pernah bertemu denganku empat tahun yang lalu di pertemuan Rohis SMA Se-Kabupaten. Di lampiran itu tertera nama yang sangat indah, Langit Qurrotaagama. Dan baru kuingat, ia adalah mantan ketua organisasi Rohis yang sempat membuatku kesal karena beberapa kebijakannya. Aku juga ingat, aku sempat menegurnya di depan umum atas ketidaksukaanku itu.
Penasaran dengan wujud asli sang mantan aktivis SMA dulu aku me-reply pesannya dengan kalimat, "Jika sungguh-sungguh pinta saya dari malaikat yang telah merawat saya di dunia ini". Dan setelah mengetikan email balasanku, aku acuh tak acuh dengan fenomena yang kutemukan kali ini. Bukan karena sombong atau trauma, aku lebih mengkhawatirkan tubuhku pasca operasi dua minggu lalu yang belum stabil benar.
Keesokan harinya, langit begitu cerah dengan warna khas yang indah. Awan-awan berarak menuju pusaran angin meninggalkan separuh langit yang tampak gagah tanpa kelabu atau mendung. Aku berdiri di pinggiran balkon rumahku tanpa jilbab. Siang-siang kayak gini jarang orang-orang lewat di depan rumahku, terlebih makhluk berjenis laki-laki. Selain karena rumahku yang memang jauh dari keramaian, jalan di depan rumah juga bukan jalan utama yang sering di lalui orang. Tapi dari kejauhan ku lihat segerombolan orang bergegas ke rumahku. Tanpa pikir panjang aku masuk ke dalam rumah dan mengenakan jilbab, merapikan ujung gamisku yang kusut dan mengelap wajahku yang masih pucat pasca operasi dengan tissue.
"Walaikumsalam..." Aku menghampiri pintu dan membukannya untuk gerombolan orang-orang tadi. "Cari siapa ya ?" Salah satu dari mereka maju dan menyalamiku, "Kami dari keluarga Elang ingin bertemu dengan dik' Lichtuanty Balqis." Aku terpana, "Elang ?" Yang lain, sosok yang paling muda dan paling ganteng dari gerombolan tadi menjawab, "Langit Qurrotaagama." Owh, aku terperanjat, "Silahkan masuk pak, bu !" Pintaku gugup.