Kesamaan hobby bisa membuat seseorang jatuh cinta. Awalnya saya mengalami hal itu. Tetapi ternyata faktor hobby tidak bisa dijadikan alasan untuk mencintai seseorang. Berawal dari bermain musik bersama, frekuensi pertemuan yang cukup sering dalam bermain musik, membuat saya ”merasa” jatuh cinta dengan seseorang (Sebut saja namanya Didi).
singkat cerita, kami pun menjalin hubungan. Sekitar 3 bulan pertama, hubungan kami normal-normal saja. Kami tetap menjalani latihan musik bersama. Banyak hal yang kami jalani bersama dan terasa menyenangkan.
Memasuki bulan keempat, ternyata hal-hal yang tadinya menyenangkan menjadi agak kurang menyenangkan. Saya tidak lagi menikmati bermain musik bersamanya, tidak lagi menikmati pergi bersamanya, maupun mengajaknya untuk bertemu dengan keluarga saya. Ketika bermain musik, saya tidak bisa menikmati lagi, karena setiap kali saya melakukan kesalahan, sedikit saja, Didi membentak saya dengan keras, di hadapan orang banyak, seperti saya adalah orang yang paling bodoh dalam bermain musik. Hal itu membuat saya tertekan dan semakin takut untuk improvisasi karena takut salah. Setiap kali ada yang mengundang untuk bermain musik, saya jadi tidak bersemangat untuk mengiyakan tawaran tersebut.
Ketika pergi bersama, keadaan yang tadinya menyenangkan, bisa berubah drastis menjadi menyeramkan hanya karena ada hal kecil yang tidak disukai Didi, misalnya ada teman saya (lawan jenis) menelpon, Didi langsung merasa saya mengacuhkannya dan ada apa-apa dengan teman saya itu. Didi ”ngotot” dan memaksa saya mengakui bahwa saya memang ada apa-apa dengan teman saya. Padahal sebenarnya tidak ada apa-apa.
Ketika Didi bertemu dengan keluarga saya, dia seperti mengamati dan mencari2 kesalahan dari keluarga saya. Bahkan Didi pernah menjelek-jelekkan orangtua saya, tante saya, kakak saya di belakang mereka. Ketika saya membela mereka, Didi marah besar. Hal itu membuat saya takut sekali kalau Didi berada di tengah-tengah keluarga saya. Saya takut kalau-kalau mereka sedang ngobrol, Didi tiba-tiba tersinggung (padahal tidak seharusnya dia tersinggung, karena bukan membicarakan tentang dia dan bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengannya).
Kedua orang tua saya bahkan kakak saya tidak menyukainya sejak mereka pernah mendengar sendiri Didi membentak-bentak saya. Sejak saat itu, saya berusaha menutupi kesalahan-kesalahan yang Didi perbuat, saya berusaha memperbaiki image Didi di hadapan keluarga saya. Kakak saya sudah tidak respect lagi dengan Didi karena kakak saya merasa Didi selalu berlaku seenaknya di rumah saya. Didi bisa menyuruh pembantu saya seenaknya, memarahi pembantu saya, bahkan pernah memindah-mindahkan perabotan di rumah saya tanpa ijin dari pemilik rumah.
Didi juga tidak disukai teman-teman saya, karena mereka pernah melihat saya dibentak di hadapan mereka.
Awalnya saya berpikir bahwa saya akan tetap mempertahankan hubungan ini walaupun semua orang tidak setuju. Saya dengan polosnya berpikir bahwa mungkin dengan adanya saya di sisinya, akan membantunya untuk mengontrol emosinya. Saya pernah mendengar kalimat ”jika anda ingin orang lain berubah, mulailah dari diri sendiri”. Saya ingin dia berubah, jadi saya dulu yang berubah, dengan cara menerima Didi apa adanya. Hal itu membuat saya dijauhi teman-teman saya.
Sejak saat saya tahu bahwa ada masalah dengan hubungan saya dan Didi, saya ingin sekali mengakhiri hubungan ini, tetapi selalu gagal karena tiba-tiba Didi minta maaf, lalu menjadi orang yang baik. Lama-kelamaan, saya bingung, karena emosi Didi bisa berubah-ubah dalam waktu singkat... marah besar, beberapa saat kemudian, bisa tertawa, lalu sedih... hal itulah yang membuat saya akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan kami.
Sampai suatu hari, ada perselisihan pendapat kecil antara saya dan Didi. Biasanya, saya tidak akan ngotot bahwa saya benar, saya akan selalu mengalah karena saya sudah berkomitmen bahwa saya akan menerima dia apa adanya. Tapi hari itu, entah mendapat kekuatan dari mana, saya benar-benar ngotot bahwa saya yang benar. Didi memaki-maki saya dan akhirnya meninggalkan saya dan mengucapkan ”gua gak tahan dengan perempuan macam lu!!” sambil menunjuk saya.
Saat itu, saya merasa lega sekali, karena hal yang saya nanti-nantikan akhirnya terjadi (berakhirnya hubungan kami).
Saat ini, saya sudah menikah. Sebelum kami menikah, saya sudah menceritakan tentang hubungan saya dengan Didi kepadanya. Dulu saya tidak mengerti mengapa saya harus mengalami hubungan yang aneh dan menyeramkan seperti itu. Setelah saya menemukan pria (yang sekarang menjadi suami saya), saya baru mengerti.. saya bersyukur pernah mengalami kesedihan yang luar biasa sewaktu saya menjalin hubungan dengan Didi, karena sekarang saya jadi bisa merasakan keindahan yang luar biasa dalam perjalanan cinta saya dengan suami saya. Kesedihan diijinkan terjadi supaya kita bisa tahu arti keindahan dan arti kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kisah kesaksian yang lain:
1. Tiran-tiran dalam hidup
2. Kisah nyata korban kekerasan
3. Kesaksian korban seksual
4. Korban kekerasan pemimpin rohani
5. Kesaksian: kecemasan akibat abuse
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H