Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan mengenai Sindrom Stockholm (Stockholm Syndrome), kami ingin mengajak pembaca untuk mengetahui kenapa sindrom ini bisa muncul dalam kehidupan masyarakat. Salah satu penyebab munculnya sindrom ini bisa berangkat dari perilaku abuse.
Kalau kita berbicara tentang abuse, sebenarnya kata ini sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian besar orang mengatakan ini sebagai perlakuan yang salah, ada juga yang mengatakan ini adalah tindakan kekerasan, bisa juga dikatakan sebagai penderaan. Banyak sekali bahasa-bahasa (istilah) yang bisa digunakan, tetapi yang ingin kami garis bawahi adalah bahwa bahasa abuse itu sendiri bukan berarti kekerasan itu sendiri.
PENYALAHGUNAAN
Kata abuse tidak merujuk pada tingkah lakunya. Kata abuse disini merujuk pada penyalahgunaan terhadap relasi, yaitu penyalahgunaan relasi antara seorang dewasa dengan relasi seorang anak, penyalahgunaan relasi orang dewasa dengan orang dewasa lainnya dan sebagainya. Didalam kamus orang Indonesia ini selalu dinamakan penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan tanggung jawab. Sedangkan dalam pikiran banyak orang saat ini abuse adalah bentuk kekerasan, padahal kekerasan itu adalah tindakannya. Ini yang harus diluruskan. Pengertian Abuse adalah tidak dilakukannya tindakan yang benar di dalam relasi yang seharusnya bertanggungjawab, didalam relasi yang seharusnya melindungi dan di dalam relasi yang seharusnya memberikan pengayoman, memberikan aktifitas-aktifitas yang memelihara, yang merawat.
Nah kenapa abuse ini terjadi? Di dalam dinamika hidup, abuse terjadi karena ada posisi yang tidak seimbang baik dalam hubungan antar seorang pria dewasa dengan perempuan dewasa ataupun antara seorang laki-laki dewasa maupun perempuan dewasa dengan seorang anak. Posisi ini disebut posisi structural kekuasaan, dimana pelaku abuse yang menyalahgunakan kekuasaan tadi adalah posisi yang mempunyai resources yang istilah kasarnya mempunyai kekuatan fisik, paling tidak, mempunyai legitimasi, aku adalah bapaknya anak itu, aku adalah suaminya nyonya itu. Dan orang yang dilegitimasi itu seolah-olah itu milik dia,s eolah-olah bagian yang diambil dari orang lain dan betul-betul milik dia. Dan juga mereka ada dalam posisi yang benar-benar tidak berdaya, di dalam posisi yang sangat lemah.
SINDROM STOCKHOLM
Di dalam segala jenis literatur tentang abuse atau penyalahgunaan dalam bentuk apapun, korban itu selalu membutuhkan waktu yang sangat lama untuk keluar dari lingkaran/dinamika kekerasan, karena adanya ketakutan-ketakutan tertentu. Dalam hubungan suami istri ketakutan nanti disalahkan, ketakutan tidak mendapatkan nafkah, ketakutan melanggar perintah agama dan seterusnya. Sebagai anak ketakutannya lebih banyak lagi, dan disinilah bisa muncul fenomena Stockholm Syndrome didalam anak. Sindrom ini adalah manakala orang yang mendapat kekerasan melihat pelaku kekerasan itu juga melindungi dia.
Pribadi yang menderita Stockholm syndrome akan sulit melepaskan diri dari para pelaku abuse. Entah pelaku itu adalah orangtuanya, gurunya, pasangannya, anggota keluarganya atau orang yang memiliki resources untuk melakukan abuse. Sebagai contoh, berhadapan dengan anak yang sangat takut berpisah dari orangtuanya padahal kita tahu dan  mendengar bahwa dia sering mendapat entah cubitan,  entah hukuman, pukulan, tapi bagi anak ini segala sesuatu yang dia alami itu adalah fenomena yang sangat normal, karena apa? Karena disamping kekerasan yang dia terima, orang satu-satunya yang menerima dia adalah orang yang melakukan kekerasan . Begitu juga dengan istri yang sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari suaminya tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena dia merasa suaminya adalah orang yang  menerima dia secara baik. Jadi, di dalam dinamika kehidupan seperti itulah maka seseorang yang mengalami abuse dan pergi dari orang yang melakukan abuse itu sering mendapat gangguan jiwa karena merasa bersalah. Mengapa aku meninggalkan suamiku? Mengapa aku melaporkan orangtuaku? Mengapa saya meninggalkan orangtua sendiri?
Kadang bagian dari dinamika ini diatur oleh norma-norma entah norma agama maupun norma yang berlaku dalam masyarakat. Ini kesulitannya. Sehingga dinamika ini sulit untuk  diintervensi, karena tidak ada yang diuntungkan. Seolah-olah kita bisa menolong, tapi kalau kita tolong belum tentu dia bahagia di luar. Bisa jadi sebaliknya.
PENUTUP
Mengatasi pribadi yang terkena Stockholm syndrome, hal pertama yang harus dilakukan adalah menangani persoalan guilty feelingsnya. Menolong pribadi ini harus dijelaskan mengapa dia harus keluar dari sistem itu tidak hanya secara rasional tetapi juga dari tatanan emosional. Mereka yang terjebak dalam sindrom Stockholm ini sudah terikat secara emosional. Secara akal sehat mereka tahu mereka teraniaya dan tertindas, tapi hubungan emosi mereka sudah terikat dan membuat mereka takut  untuk pergi meninggalkan pelaku.
Inilah dinamika dari fenomena Stockholm Syndrome. Tidak mudah untuk menarik mereka keluar dari situasi yang mungkin bertahun-tahun mereka alami. Butuh kesabaran dan orang yang bisa dipercaya untuk menjadi relasi baru dalam hidupnya. Bila kepercayaan sudah didapat, maka tugas selanjutnya adalah memelihara kepercayaan tersebut. Karena bila kepercayaan ini disalahgunakan maka mereka akan kembali kepada pelaku dan menutup diri dari orang lain.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H